Jumat, 31 Januari 2014

Anjuran Penyelesaian PHK di Disnaker Kab. Bandung Menyesatkan?



Kab. Bandung, KMI – Anjuran penyelesaian PHK yang dikeluarkan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kab. Bandung dianggap tidak professional dan terkesan memihak. Dengan dalih sudah melakukan pemanggilan secara patut sebanyak tiga (3) kali tetapi yang dipanggil tidak pernah hadir, pihak Disnaker Kab. Bandung memberi anjuran yang terkesan merupakan suatu vonnis, tanpa pernah melakukan investigasi lapangan terhadap kebenaran pihak yang dipanggil.
Agaknya Disnaker Kab. Bandung, tidak memahami sepenuhnya penerapan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, UU tersebut dikeluarkan tanpa memahami bentuk hubungan tenaga kerja antara pihak-pihak yang bersengketa dalam ketenaga kerjaan tersebut, apakah benar ada hubungan ketenaga kerjaan sesuai dengan UU, atau sebaliknya hanya bentuk toleransi yang bersifat menolong kepada seseorang yang tidak punya aktifitas.
Dinas Tenaga Kerja Kab. Bandung juga terkesan tidak menyadari ketidak mampuannya dalam menanggulangi pengangguran di Kab. Bandung yang jumlahnya sangat besar, sehingga hanya dengan alasan mengindahkan panggilan, tanpa mau mengadakan penyelidikan lapangan mengeluarkan surat anjuran No. 567/003-HIPK/2013 tertanggal 27 Desember 2013 terkesan dengan jelas adanya pemaksaan kehendak dengan memaksa seseorang yang memberikan toleransi kepada pihak lain untuk beraktifitas yang menghasilkan membayar pesangon hingga Rp 15. 525.000,- karena adanya ketidak sinkronan antara pihak-pihak yang memberikan aktifitas yang menghasilkan dengan pihak yang menerima aktifitas.
Sepertinya, professionalisme di Dinas Tenaga Kerja Kab. Bandung perlu ditingkatkan lagi, sehingga mampu menerima aduan seseorang yang mengaku di PHK sepihak berdasarkan dokumen dan fakta hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, dan perusahaan apa yang dijadikan objek aduan dan tuntutan.
Hanya dengan mereka-reka suatu kejadian PHK dan memposisikan diri sebagai penguasa, tanpa menyadari bahwa Dinas tenaga kerja Kab. Bandung juga merupakan salah instansi milik Pemkab Bandung yang bertugas untuk melayani masyarakat dan harus mempelajari situasi dan kondisi di lingkungan masyarakat itu sendiri. Menerima aduan sepihak dari Ratna Ningsih yang mengaku di PHK sepihak di UD Gemilang Jaya Abadi yang bukan berbentuk industri, tapi hanya merupakan usaha dagang (toko)/gudang sembako.
Dengan bergaya penguasa yang tegas, Disnaker Kab. Bandung memanggil Sony, pemilik toko/gudang Gemilang Jaya Abadi yang memberikan kegiatan menghasilkan kepada Ratna Ningsih yang mengaku di PHK sepihak, pihak Disnaker Kab. Bandung sama sekali tidak menggubris undangan Sony yang mengundang secara resmi datang ke tempat usahanya melalui surat yang dikirimkan ke Disnaker Kab. Bandung, untuk melihat kondisi usahanya, juga seperti apa hubungan kerja antara Gemilang Jaya Abadi dengan Ratna Ningsih.
Pihak Disnaker Kab. Bandung dengan arogansi yang tinggi tidak mau tau dengan penjelasan Sony dalam suratnya yang menjelaskan bahwa, tidak ada hubungan kerja sesuai UU di Gemilang Jaya Abadi, semua pihak yang beraktifitas disana hanyalah bentuk toleransi memberikan kegiatan yang menghasilkan, tanpa ada ikatan atau berita acara bahwa pihak yang beraktifitas di Gemilang Jaya Abadi adalah karyawan yang memiliki dokumen ketenaga kerjaan, jenjang karier, ataupun slip gaji.
Ironisnya, Disnaker Kab. Bandung, tidak memahami PHK sepihak. Institusi milik Pemkab Bandung ini, dengan hantam kromo melakukan pemanggilan kepada pihak-pihak hanya berdasarkan pengakuan sepihak, tanpa meminta apakah ada dokumen pemecatan, Surat Peringatan pertama, kedua dan berita acara PHK dari pihak yang mengaku di PHK sepihak.
Juga tidak mau tau dengan penjelasan Sony, pemilik Gemilang Jaya Abadi yang menjelaskan dalam suratnya, bahwa Ratna Ningsih yang mengadu tanpa dokumen ke Dinas Tenaga Kerja Kab. Bandung mengundurkan diri dengan baik-baik yang disaksikan semua orang-orang yang beraktifitas menghasilkan di Gemilang Jaya Abadi.
Aep Sapsudin, Ketua Pewarta Konfederasi Serikat Pekerja (KSPSI) Jawa Barat, menyesalkan sikap Disnaker Kab. Bandung yang tidak mau mengadakan investigasi lapangan dan hanya berdasarkan aduan sepihak.
Dikatakan oleh Aep, sikap Disnaker yang menentukan UU Ketenaga Kerjaan kepada pihak-pihak yang belum bisa dipastikan hubungan ketenaga kerjaan itu seperti apa, adalah sangat menyesatkan.
Menurut Aep, Disnaker Kab. Bandung tidak menyadari sikap yang diberikan akan merugikan semua pihak yang bersengketa. “ Bisa dibayangkan apa yang terjadi, rujukan Disnaker Kab. Bandung ini akan berujung di PHI, dan apapun keputusan PHI bukan merupakan jalan keluar, karena pihak yang tidak puas akan tetap banding,” Kata Aep.
Belum lagi permasalahan akan merembet kemana-mana, sebagai manusia kemungkinan sipengadu (Ratna Ningsih,red) memiliki ke khilafan yang tidak tersurat tapi tersirat ketika beraktifitas di gemilang Jaya Abadi, ini bisa menimbulkan masalah baru, kata Aep.
“Bila Disnaker Kab. Bandung memiliki sikap seperti ini, ribuan sopir angkot yang di PHK sepihak oleh Pengusaha Angkutan Kota, bisa-bisa merepotkan pihak Disnaker, agaknya instansi milik Pemkab Bandung ini harus meningkatkan profesionalisme kinerja,” tadas Aep. *(HaN)

Ketua PN Sumber Pasrah



Cirebon, KMI - Dinilai Majelis hakim yang memutuskan perkara No. 41/Pid.B/2013/PN.Sbr tertanggal 23 April 2013 tidak sesuai dengan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/RKY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dilaporkan ke Komisi Yudisial RI.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumber (PN Sumber) Kab. Cirebon, Panji Surono, SH,MH (Ketua Majelis), Lucius Sunarno, SH,MH ( Hakim Anggota ), dan Ika Lusiana Riyanti, SH (Hakim Anggota) dinilai tidak menjalankan Pengadilan yang mandiri, tidak netral (terkesan memihak), tidak akuntabel dan berwibawa, sehingga kemampuan menegakkan wibawa hukum, kepastian hukum dan kevadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.
Majelis hakim ini terkesan tidak menjadikan Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa. Para Majelis Hakim di PN Sumber ini memutuskan perkara pidana dalam peradilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa, tanpa mempertimbangkan kesaksian palsu yang diberikan para saksi-saksi yang dihadirkan oleh pihak-pihak yang berperkara.
Menanggapi perilaku Majelis Hakim PN Sumber Kab. Cirebon yang terkesan memihak dan tidak netral ini, Ketua PN Sumber, Jihad Arkanuddin, SH,MH melalui Humasnya Vicky Daniel Simanjuntak, SH,MH kepada Modus Investigasi mengatakan Ketua PN Pasrah bila Majelis Hakim dilaporakan ke Komisi Yudisial.
Senada dengan Humas PN Sumber Kab. Cirebon, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sumber Edy Winarto, SH,MH melalui Kasi Pidum Irfan Natakusumah, SH, MH kepada Modus Investigasi mengatakan, adalah hak semua warga masyarakat melaporkan ketidak puasan terhadap penegakan hukum yang diterima, tetapi harus ada bukti.
Ketika diminta tanggapannya terhadap adanya indikasi kejanggalan dalam proses pemeriksaan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum, Irfan mengatakan sah-sah saja masyarakat melaporkannya kepada Pengawas Kejaksaan Tinggi atau Pengawas Kejaksaan Agung, asal ada bukti pendukung.
“Melaporkan berbagai kejanggalan penegakan hukum sah-sah saja dan juga merupakan hak masyarakat, namun akan lebih valid kalau ada bukti dan dilaporkan ke polisi,” jelas Irfan.
Penegakan hukum di Kejari dan PN Sumber Kab. Cirebon dinilai tidak netral dan terkesan memihak setelah  Charles Mulyono melaporkan Soni Eka Wijaya ke pihak Kepolisian dengan tuduhan melakukan tindak pidana “ Penggelapan “ sebagaimana diatur dalam pidana bersalah pasal 372 KUHP.
Tuduhan yang sangkakan kepada Soni ada 3 hal yaitu menggelapkan uang sebesar Rp 2.161.750, menggelapkan plastik 1 karung Rp 656.120, dan menggelapkan sohun 1 truk.
Perkara pidana dengan dugaan melakukan penggelapan dan pencurian di PN Sumber dengan memaksakan terdakwa Soni benar-benar melakukan tindak pidana sesuai yang ditur pada pasal 372 KUHP, tanpa mempertimbangkan penjelasan Soni yang menjelasakan pada pleidoinya bahwa uang sebesar Rp 2.161.750,- pada kenyataannya untuk membayar gaji mandor sebesar Rp 2 juta dan untuk membayar sablon sebesar Rp 200 ribu. Hal ini diakui saksi Hermanto dimuka persidangan, namun tidak menjadi pertimbangan oleh Majelis Hakim. Selain membayar gaji mandor, juga membayar gaji harian buruh sebesar Rp 228 ribu.
Ironisnya, Majelis Hakim menyatakan kwitansi pembayaran gaji sebesar Rp 2 juta dianggap tidak sah karena tidak ada tanggalnya, walaupun mandor Endang sebagai penerima gaji dimuka persidangan mengakui bahwa kwitansi itu benar dibuat dan ditandatangani olehnya ketika menerima uang.
Pembayaran uang sablon sebesar Rp 200 ribu dijadikan oleh Majelis Hakim menyudutkan Terdakwa Soni dengan mengatakan uang sablon tersebut digelapkan karena tidak ada kwitansi. Majelis Hakim tidak mempertimbangkan pengakuan Hermanto sebagai pengusaha sablon yang menyatakan bahwa Pembayaran gaji Rp 228 ribu tidak diakui, karena sudah bertepatan dengan hari libur, namun kenyataan fakta persidangan masih ada kegiatan.
Keterangan Saksi Endang di muka persidangan juga diragukan karena menurut Majelis Hakim  Endang tidak layak menerima gaji sebesar Rp 2 juta, karena sudah memperoleh uang makan dan Majelis Hakim yang mengesampingkan bukti kwitansi dan pengakuan para saksi  menunjukkan bahwa Majelis Hakim tidak bertindak netral, terkesan memaksakan terdakwa Soni untuk melakukan penggelapan dan penipuan.
Plastik 1 karung senilai Rp 656.120, yang disita sebagai barang bukti ada 2 karung. Hal itu dinyatakan para saksi dimuka persidangan bahwa dalam menjalankan tugasnya mengerjakan sablon tersebut tidak dilengkapi dengan surat pengambilan, dan para saksi menegaskan walaupun tidak ada surat pengambilan tidak merupakan suatu penggelapan, karena merupakan pengerjaan penyablonan, dan setelah selesai akan dikembalikan kepada Usman bagian pengacian perusahaan milik pelapor (Charles Mulyono,red).
Namun pada kenyataannya, pengembalian karung tersebut dilakukan pada sore hari, sehingga belum sampai kepada Charles, dan hal itu dilaporkan kepada pihak kepolisian sebagai penggelapan  1 bulan setelahnya. Ironisnya, Majelis Hakim tidak menjadikan keterangan para saksi sebagai bahan pertimbangan.
Penggelapan 1 truk sohun sebanyak 825 bal, sewaktu barang tersebut dikirim ke Bandung, terdakwa Soni tidak ada dilokasi, tetapi yang ada adalah saksi Pelapor (Charles,red) yang juga sebagai pemilik barang. Charles menyuruh menaikkan sohun tersebut dan memberikan terpal serta tambang, juga menyediakan mobil truk untuk dikirim ke Bandung ke tempat Soni.
Yang mengirim barang adalah Eko dan Usman tetapi tidak disertai surat jalan. Karena tidak ada nota penjualan, ketika Soni kembali ke Cirebon meminta untuk dibuatkan nota  agar bisa membayar, dan 1 minggu kemudian Sony (Terdakwa,red) mentransfer uang sebesar Rp 11.676.000 untuk pembayaran sohun tersebut.
Diketahui kemudian, Terdakwa soni dan saksi pelapor Charles sebelum bergabung untuk mengelola pabrik milik saksi pelapor, terdakwa Sony pernah membeli sohun kepada Charles yang pertama 660 bal dan yang kedua sebanyak 656 bal.
Pembelian pertama sudah dibayar, yang kedua tidak mau dibayar karena  ternyata barangnya hitam dan bau sehingga barangnya dituntut untuk dikembalikan, namun Charles tidak mau dikembalikan dan hanya memberikan potongan sebesar Rp 2000/bal. Namun Sony menolaknya karena bisa merugikan konsumen.
Soni bersikeras hanya membayar pengiriman pertama saja, pengiriman kedua tetap ditolak untuk dibayar, akhirnya sohun dengan sisa 436 bal diambil oleh Charles melalui supirnya Hendra dengan menggunakan mobil truk milik Charles dan sebanyak 184 bal disita polisi.
Majelis Hakim memiliki kesimpulan bahwa pembayaran yang terakhir adalah pembayaran yang sebelumnya, padahal nota sebelumnya sudah dikembalikan sebanyak 436 bal karena tidak bisa dijual karena bau dan hitam.
Sikap Majelis Hakim yang hanya berpatokan kepada pembayaran saja tanpa mempertimbangkan barang yang sudah dikembalikan, menimbulkan tanda tanya.  Bagaimana mungkin Majelis Hakim hanya berpatokan kepada pembayaran saja yang merupakan bentuk hitung-hitungan yang belum selesai. Dan sohun 1 truk yang dituduh digelapkan diberikan sendiri oleh Charles kepada soni untuk dijual.
Anehnya, sopir dan kernet yang mengirim sohun 1 truk tersebut tidak dijadikan tersangka oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan tidak dihukum, karena yang membawa sohun tersebut ke tempat Soni adalah supir dan kernet truk tersebut. Sehingga bisa dipastikan bila ada temuan penggelapan, harus sopir dan kernet yang menjadi pelakunya.
Diduga perkara pidana ini penuh dengan rekayasa dari mulai tingkat penyidikan, penyelidikan hingga penanganan pemeriksaan oleh JPU hingga kepada putusan Majelis Hakim. *(HaN/Anas)

Rp 15 Miliaran Anggaran Pemeliharaan Jalan di Kab.Bandung Jadi Bancakan ?




Kab. Bandung, KMI - Proyek pembangunan infrastruktur perbaikan dan pelebaran jalan serta pengerjaan Tembok Penahan Tebing (TPT) dan drainase di Kecamatan Ranca Bali Kabupaten Bandung diduga keras merupakan bancakan dan perampokan uang negara. Pasalnya pengerjaan proyek ini terkesan asal-asalan dan belum berapa lama, serta masih dalam tahap pemeliharaan sudah ambrol.
Tidak jelas mekanisme pengerjaannya apakah sesuai  site plan proyek atau sebaliknya dikerjakan asal-asalan dengan tujuan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pihak pengembang yang melaksanakan pekerjaan.
Ironisnya, proyek jalan senilai Rp 15 miliar yang anggarannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat dengan Kuasa Pemegang Anggaran (KPA) Dinas Bina Marga Prov Jabar selalu diawasi pihak Dinas Bina Marga Jabar.
Tidak jelas pengawasan itu dilakukan hanya merupakan formalitas, diduga pihak Bina Marga Prov Jabar sudah kongkalikong dengan  PT Cipta Usaha Nusa Gede sebagai pengembang yang melaksanakan pekerjaan.
Kenyataan yang terjadi dilapangan, biarpun pengerjaan proyek jalan ini kerap diawasi oleh pihak Dinas Bina Marga, namun pihak pengembang tidak segan-segan untuk melaksanakannya asal-asalan, terbukti belum berapa lama sudah rusak dan ambrol.
Pantauan Modus Investigasi dilapangan, diduga keras material yang dipergunakan dalam proyek pengerjaan jalan dan drainase ini tidak sesuai spesifikasi. Misalnya, batu yang seharusnya dipakai harus batu situ wangi, namun kenyataan dilapangan yang dipakai adalah batu merah atau batu cadas.  
Usman, salah seorang pelaksana di lapangan yang sedang ada di lokasi proyek yang ambrol ketika diminta komentarnya terhadap ambrolnya pekerjaan jalan ini, kepada Wartawan memberikan penjelasan klasik bahwa kejadian ini adalah akibat kejadian alam.
Penjelasan Usman ini menimbulkan tanda tanya terhadap profesionalisme pihak Dinas Bina Marga Prov. Jabar. Tidak mungkin pengerjaan proyek ini dilaksanakan dengan biaya yang sangat besar tanpa perencanaan yang matang, juga perhitungan terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam. Namun realita yang terjadi, kejadian alam selalu dibuat kambing hitam oleh pihak pengembang.
“Ambrolnya pekerjaan jalan dan drainasi ini adalah akibat kejadian alam,” jelas Usman kepada Modus Investigasi.
Di sela pembicaraanya dengan Modus Investigasi, H. Dodo selaku penanggung jawab teknis  PT. Cipta Usaha Nusa Gede angkat bicara, kepada Wartawan mengatakan bahwa pihaknya cape 3 kali dalam pengerjaan proyek ini.  “Bukan cape dua kali melainkan tiga kali capenya” karena dalam pengerjaanya harus membongkar kembali sebagian yang tersisa akibat ambrol / runtuh,” kata H. Dodo.
Lagi-lagi penjelasan H.Dodo ini menunjukkan professionalisme PT Cipta Usaha Nusa Gede yang kurang. Tidak jelas pihak panitia Lelang Proyek Dinas Bina Marga Prov Jabar memberikan penilaian sehingga perusahaan rekanan ini bisa memenangkan proyek pekerjaan jalan dan drainase di Kecamatan Ranca Bali Kabupaten Bandung.
Warga sekitar di wilayah ini sangat menyayangkan proyek jalan dan drainase dengan anggaran 15 milyar Rupiah di kerjakan secara tidak optimal bahkan Asal – asalan.
Diharapkan pihak Kejaksaan Negeri Baleendah turun tangan dan memeriksa kejanggalan pengerjaan proyek ini. Disamping terkesan asal-asalan, juga sudah masuk kategori lintas tahun. *(Heri.S/Hendry HTg/HaN)

Sabtu, 04 Januari 2014

Kades “Ontrog” Aher



Bogor, KMI - Merasa ada perbedaan pembagian dana infrastruktur ratusan Kepala Desa (Kades) Kabupaten Bogor, mengontrog Gubernur Jawa Barat (Jawab) Achmad Heryawan sekaligus mendatangi pihak DPRD Pemprov Jabar, akhir November 2013 yang baru lalu.
            Kades Pancawati, Kecamatan Caringin, KabupatenBogor, Ipan Sugandi, katakan, dari 420 desa di Kabupaten Bogor sekitar 132 desa mendapatkan dana reguler tersebut lebih rendah. Dia menambahkan, seharusnya  semua merata mendapat dana infrastruktur sebesar Rp.100 juta. Tetapi pada kenyataannya sepertiga kades  menerima dana tersebut antara Rp.75 juta sampai Rp.50 juta.
            Ipan, yang dipercaya sebagai koordinator aksi tersebut, menyatakan, apabila perbedaan bantuan itu disengaja, berarti pihak Pemprov Jabar telah pilih kasih, padahal semua desa kebutuhannya sama.
            Hasil aksi para Kades tersebut, lanjut Ipan, pihak pemprov berjanji akan mengirimkan kekurangannya paling lambat pertengahan Desember. “Jika janji tersebut tak ditepati, maka kami akan kembali datangi gubernur serta DPRD Pemprov Jabar,” ujarnya.
            Seperti diketahui selama ini, dana infrastruktur dapat dari APBD Pemkab Bogor, sementara untuk tahun ini bantuan infrastruktur disamping dari Pemkab Bogor ada juga bantuan dari Gubernur Jabar dengan jumlah yang sama dan dana infrastruktur langsung masuk kerekening Kades. Namun pada prakteknya terjadi perbedaan jumlah transferan.
Banyak pihak berpendapat perbedaan dana infrastruktur dari Pemprov Jabar, dicurigai ada unsur kesengajaan dari pihak Biro Keuangan Jabar. Tehniknya, kalau para kades bereaksi sisanya akan diberikan, dan kalau tidak ada gejolak jumlah sisa dana tersebut akan ditelan oknum di Pemprop Jabar.
Berbagai elemen di Bogor, berprediksi perbedaan saluran dana infrastruktur tidak hanya di Kabupaten Bogor saja. “Kemungkinan besar kasus yang sama menimpa pemerintah daerah seluruh daerah Jabar. Ini modus dan hal ini perlu disikapi pihak Inspektorat Pemprov Jabar, Polda Jabar serta Kejati Jabar,” ujar seorang anggota disalah satu LSM, Engkus di Bogor. *(Dang)

Atasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg, Pemkab Pangandaran Harus Segera Miliki SPBE

PANGANDARAN, KMI - Dengan adanya keterkaitan, mahalnya Gas Elpiji di kabupaten Pangandaran dan maraknya harga penjualan gas elpiji 3 k...