Oleh : Hans Nainggolan
Masih terngiang dikuping warga Jawa
Barat janji kampanye yang dilontarkan pasangan Ahmad Heryawan – Dedy Mizwar
(Aher-Demiz) yang tampil sebagai
pemenang Pilkada Jabar dan sudah dilantik Menteri Dalam Negeri untuk masa
bhakti 2013 – 2018 untuk memimpin Jawa Barat sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur.
Pasangan ini dengan suara lantang dan
bersemangat menjanjikan mulai bulan Juni 2013 bila mereka memenangkan Pilgub
Jabar akan menggratiskan pendidikan di Jawa Barat mulai tingkat Sekolah Dasar
(SD) hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK).
Janji kampanye ini merupakan harapan
baru kepada warga Jawa Barat, khusunya warga kota Bandung yang sudah bosan
dengan komersialisasi berbagai pungutan di sekolah ditingkatan yang dijanjikan
Aher – Demiz ini.
Ada acungan jempol kepada pasangan
ini saat mendengar janji kampanyenya. Harapan akan terlepas dari berbagai
pungutan di tingkatan SD, SMP, SMA/SMK terbayang, dan para siswa terbebas dari
beban mental yang menghindari atau cenderung malas pergi sekolah hanya karena berbagai
tagihan yang terjadi di sekolah.
Harapan orang tua yang merasa
khawatir akan mental anaknya tidak tertekan dan merasa minder/malu di sekolah
karena belum mampu melunasi berbagai pungutan yang di setting sedemikian rupa
oleh pihak sekolah yang berlindung dibalik komite sekolah terhadap janji
kampanye ini sangat tinggi, sehingga kemenangan pasangan ini berjalan mulus
tanpa harus ada putaran kedua atau putaran lanjutan pada Pilgub Jabar.
Namun, harapan hanya tinggal
dengungan janji ditelinga para orang tua siswa, karena ternyata setelah
pasangan ini dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat, janji
kampanye ini belum terlihat ataupun terdengar gebrakannya.
Malah yang terjadi sangat bertolak
belakang dengan janji tersebut, berbagai manuver Sekolah-sekolah di Kota
Bandung memeras orang tua murid.
Permainan menjurus keras cenderung kasar.
Pada tahun ajaran baru tahun 2013,
ditingkat SD, SMP, dan SMA/SMK sudah mulai ada manuver komersialisasi dengan
dalih sekolah Favorit, sehingga dalam menyekolahkan anak di Sekolah Favorit ini
orang tua siswa harus merogoh koceknya dengan jumlah yang cukup besar, asal
bisa sekolah di Sekolah Favorit ini.
Bila tidak merogoh kocek, akan ada
alasan klasik dari Kepala Sekolah atau guru dengan mengatakan bahwa kelas sudah
penuh. Kuota kursi siswa sangat terbatas, sehingga dengan berat hati dan
menyesal tidak bisa menerima siswa tersebut di Sekolah favorit ini.
Anehnya, seorang orang tua siswa yang
menghadap kepala Sekolah Favorit dengan amplop tebal berisi uang ditangan,
kelas yang sudah penuh dan kuota yang sudah terisi ini akan berubah drastis,
dengan sikap yang sangat ramah Kepala Sekolah Favorit ini mengucapkan wellcome
kepada siswa dengan orang tua berkantong tebal ini.
Persoalan Passing Grade juga merupakan permasalahan serius, Passing Grade ini juga digunakan menjadi
sarana komersialisasi pendidikan yang mengarah kepada tindak pidana
gratifikasi.
Siswa yang passing grade nya dibawah
rata-rata dan tidak memenuhi nominasi untuk memasuki sekolah tententu
dipaksakan untuk diterima di sekolah tersebut. Praktek gratifikasi sangat kasar
dalam permasalahan yang satu ini. Oknum-oknum Wartawan, LSM, Ormas banyak yang
bermain dengan Kepala Sekolah melalui panitia penerima siswa baru.
Di tingkat SMP, SMA/SMK Negeri beredar uang gratifikasi yang
tidak sedikit. Bila dikalkulasi di tingkat SMP dan SMA/SMK Negeri di Kota
Bandung, bisa di prediksi mencapai Milyaran Rupiah. Tidak jelas siapa yang
bertanggung jawab terhadap permainan ini.
Dalam persoalan passing grade ini juga bermain rekomendasi
dan memo orang-orang tertentu yang
memiliki jabatan dan pengaruh di Kota Bandung. Konon oknum penegak hukum juga
tidak sedikit yang memberikan rekomendasi ataupun memo ini.
Selanjutnya, terjadilah manuver dan
praktik Komersialisasi yang membuat geleng kepala. Sekolah –sekolah ini berubah
wujud menjadi sarana berdagang, dari mulai seragam sekolah, seragam batik,
seragam pramuka, pakaian olahraga, kaos kaki hingga sepatu siswa.
Dengan gaya halus, Sekolah-sekolah ini
menyampaikan kepada orang tua, dengan mengatakan beli aneka macam seragam, kaos
kaki dan sepatu tidak diharuskan, boleh membeli diluar sekolah. Namun orang tua
siswa yang khawatir ada perbedaan corak maupun style seragam yang dijual diluar
sekolah dengan yang disiapkan oleh sekolah, merasa was-was dan dengan berat
hati dipaksakan membeli di sekolah.
Hebatnya ada pihak lain diluar pihak
sekolah menyiapkan seragam sekolah dan dengan bebas melayani siswa di ruangan
khusus yang disiapkan sekolah, sehingga ruangan itu yang seharusnya
diperuntukkan ruangan untuk kegiatan belajar dan mengajar, berubah fungsi
menjadi pasar ataupun toko tempat berjualan seragam sekolah.
Inilah sekelumit gambaran
komersialisasi yang terjadi di kalangan pendidikan kota Bandung, diduga akan
terjadi komersialisasi pendidikan lainnya yang lebih parah, yaitu pungutan lain
yang melibatkan pihak komite sekolah.
Sampai kapan hal ini terjadi, belum
ada jawaban yang pasti untuk itu. Bagaimana realisasi janji kampanye
Aher-Demiz, warga kota Bandung dan Jawa Barat akan menunggunya. **Penulis
adalah Wartawan di beberapa Media terbitan Jakarta dan Bandung