Bandung, KMI - Adanya sorotan publik
terhadap perkara No. 41/Pid.B/2013/PN. Sbr tertanggal 23 April 2013 di
Pengadilan Negeri Sumber Jalan Drajat No. 4 Sumber Kab. Cirebon, seakan
menyoroti kinerja para oknum penegak hukum. Pasalnya, putusan majelis hakim
yang terdiri dari Panji Surono, SH,MH (Ketua Majelis), Lucius Sunarno, SH,MH
(Hakim Anggota), dan Ika Lusiana Riyanti, SH (Hakim Anggota) diduga tidak
sesuai dengan keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi
Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/RKY/IV/2009 tentang kode
etik dan pedoman perilaku hakim.
Perkara No. 41/Pid.B/2013/PN.Sbr
dengan kasus tuduhan penggelapan dan atau pencurian sesuai pasal 372 Yo 362
KUHP terkesan dipaksakan sehingga menjurus ke arah kriminalisasi hukum yang
dialami Sony Ekawijaya yang ditetapkan sebagai terdakwa.
Majelis Hakim selain tidak
menerima eksepsi pembelaan yang diberikan oleh Sony Ekawijaya dalam pledoinya
sama sekali tidak djadikan bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim, ironisnya
keterangan para saksi yang merupakan kesaksian palsu, juga oleh Majelis Hakim
dijadikan bahan pertimbangan hukum. Sementara dokumen yang hanya karena tidak
mempunyai keterangan waktu (tanggal, red) diabaikan dan tidak diakui oleh
Majelis Hakim.
Dinilai proses sidang yang
terkesan dagelan serta memihak sehingga Sony Ekawijaya, terdakwa yang di vonnis
6 bulan penjara pada pengadilan tingkat pertama dan setelah menjalankan proses
banding di Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung, dengan Ny. CH Kristi
Purnamiwulan,SH,M Hum (Ketua Majelis), H.Effendi Gayo,SH,MH dan H. Sofjofian
Mohammad,SH (Hakim Anggota), menerima
permintaan banding terdakwa dan penuntut umum, serta memperbaiki Putusan Negeri
Sumber tanggal 30 April 2013 no. 41/Pid.B/2013/PN.Sbr yang menetapkan hukuman
penjara selama 6 bulan.
Pengadilan Tinggi Jawa Barat
dalam amar putusannya menetapkan bahwa hukuman pidana 6 bulan tersebut tidak
usah dijalankan, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan
lain, disebabkan karena terdakwa melakukan suatu tindak pidana sehabis masa
percobaan selama 1 tahun.
Seperti disoroti koran Modus
Investigasi edisi 210, kasus penggelapan dan atau pencurian ini disidangkan
setelah Charles Mulyono melaporkan Soni
Eka Wijaya ke pihak Kepolisian dengan tuduhan melakukan tindak pidana “Penggelapan” sebagaimana diatur dalam
pidana bersalah pasal 372 KUHP.
Tuduhan yang sangkakan kepada
Soni ada 3 hal yaitu menggelapkan uang sebesar Rp 2.161.750, menggelapkan
plastik 1 karung Rp 656.120, dan menggelapkan sohun 1 truk.
Perkara pidana dengan dugaan
melakukan penggelapan dan pencurian di PN Sumber dengan memaksakan terdakwa
Soni benar-benar melakukan tindak pidana sesuai yang ditur pada pasal 372 KUHP,
tanpa mempertimbangkan penjelasan Soni yang menjelasakan pada pleidoinya bahwa
uang sebesar Rp 2.161.750,- pada kenyataannya untuk membayar gaji mandor
sebesar Rp 2 juta dan untuk membayar sablon sebesar Rp 200 ribu. Hal ini diakui
saksi Hermanto dimuka persidangan, namun tidak menjadi pertimbangan oleh
Majelis Hakim. Selain membayar gaji mandor, juga membayar gaji harian buruh sebesar
Rp 228 ribu.
Ironisnya, Majelis Hakim
menyatakan kwitansi pembayaran gaji sebesar Rp 2 juta dianggap tidak sah karena
tidak ada tanggalnya, walaupun mandor Endang sebagai penerima gaji dimuka
persidangan mengakui bahwa kwitansi itu benar dibuat dan ditandatangani olehnya
ketika menerima uang.
Pembayaran uang sablon sebesar
Rp 200 ribu dijadikan oleh Majelis Hakim menyudutkan Terdakwa Soni dengan
mengatakan uang sablon tersebut digelapkan karena tidak ada kwitansi. Majelis
Hakim tidak mempertimbangkan pengakuan Hermanto sebagai pengusaha sablon yang
menyatakan bahwa Pembayaran gaji Rp 228 ribu tidak diakui, karena sudah
bertepatan dengan hari libur, namun kenyataan fakta persidangan masih ada
kegiatan.
Keterangan Saksi Endang di muka
persidangan juga diragukan karena menurut Majelis Hakim Endang tidak layak menerima gaji sebesar Rp 2
juta, karena sudah memperoleh uang makan dan Majelis Hakim yang mengesampingkan
bukti kwitansi dan pengakuan para saksi
menunjukkan bahwa Majelis Hakim tidak bertindak netral, terkesan
memaksakan terdakwa Soni untuk melakukan penggelapan dan penipuan.
Plastik 1 karung senilai Rp
656.120, yang disita sebagai barang bukti ada 2 karung. Hal itu dinyatakan para
saksi dimuka persidangan bahwa dalam menjalankan tugasnya mengerjakan sablon
tersebut tidak dilengkapi dengan surat pengambilan dan para saksi menegaskan
walaupun tidak ada surat pengambilan tidak merupakan suatu penggelapan, karena
merupakan pengerjaan penyablonan dan
setelah selesai akan dikembalikan kepada Usman bagian pengacian perusahaan
milik pelapor (Charles Mulyono, red).
Namun pada kenyataannya,
pengembalian karung tersebut dilakukan pada sore hari, sehingga belum sampai
kepada Charles, dan hal itu dilaporkan kepada pihak kepolisian sebagai
penggelapan 1 bulan setelahnya.
Ironisnya, Majelis Hakim tidak menjadikan keterangan para saksi sebagai bahan
pertimbangan.
Penggelapan 1 truk sohun
sebanyak 825 bal, sewaktu barang tersebut dikirim ke Bandung, terdakwa Soni
tidak ada dilokasi, tetapi yang ada adalah saksi Pelapor (Charles,red) yang
juga sebagai pemilik barang. Charles menyuruh menaikkan sohun tersebut dan
memberikan terpal serta tambang, juga menyediakan mobil truk untuk dikirim ke
Bandung ke tempat Soni.
Yang mengirim barang adalah Eko
dan Usman tetapi tidak disertai surat jalan. Karena tidak ada nota penjualan,
ketika Soni kembali ke Cirebon meminta untuk dibuatkan nota agar bisa membayar, dan 1 minggu kemudian
Sony (Terdakwa, red) mentransfer
uang sebesar Rp 11.676.000 untuk pembayaran sohun tersebut.
Diketahui kemudian, Terdakwa
soni dan saksi pelapor Charles sebelum bergabung untuk mengelola pabrik milik
saksi pelapor, terdakwa Sony pernah membeli sohun kepada Charles yang pertama
660 bal dan yang kedua sebanyak 656 bal.
Pembelian pertama sudah dibayar,
yang kedua tidak mau dibayar karena
ternyata barangnya hitam dan bau sehingga barangnya dituntut untuk
dikembalikan, namun Charles tidak mau dikembalikan dan hanya memberikan
potongan sebesar Rp 2000/bal. Namun Sony menolaknya karena bisa merugikan
konsumen.
Soni bersikeras hanya membayar
pengiriman pertama saja, pengiriman kedua tetap ditolak untuk dibayar, akhirnya
sohun dengan sisa 436 bal diambil oleh Charles melalui supirnya Hendra dengan
menggunakan mobil truk milik Charles dan sebanyak 184 bal disita polisi.
Majelis Hakim memiliki
kesimpulan bahwa pembayaran yang terakhir adalah pembayaran yang sebelumnya,
padahal nota sebelumnya sudah dikembalikan sebanyak 436 bal karena tidak bisa
dijual karena bau dan hitam.
Sikap Majelis Hakim yang hanya
berpatokan kepada pembayaran saja tanpa mempertimbangkan barang yang sudah
dikembalikan, menimbulkan tanda tanya.
Bagaimana mungkin Majelis Hakim hanya berpatokan kepada pembayaran saja
yang merupakan bentuk hitung-hitungan yang belum selesai. Dan sohun 1 truk yang
dituduh digelapkan diberikan sendiri oleh Charles kepada soni untuk dijual.
Anehnya, sopir dan kernet yang
mengirim sohun 1 truk tersebut tidak dijadikan tersangka oleh Jaksa Penuntut
Umum (JPU) dan tidak dihukum, karena yang membawa sohun tersebut ke tempat Soni
adalah supir dan kernet truk tersebut. Sehingga bisa dipastikan bila ada temuan
penggelapan, harus sopir dan kernet yang menjadi pelakunya.
Diduga perkara pidana ini penuh
dengan rekayasa dari mulai tingkat penyidikan, penyelidikan hingga penanganan
pemeriksaan oleh JPU hingga kepada putusan Majelis Hakim.
Koran Modus Investigasi yang
mengadakan investigasi jurnalistik dilapangan, menemukan berbagai hal yang
menimbulkan tanda tanya dalam proses penegakan hukum. Agar tidak terjadi proses
penegakan hukum di masyarakat yang bisa merugikan salah satu pihak yang
berperkara berupaya meminta Komisi Yudisial turun tangan.* (HaN/Anas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar