-
KPP Madya Bandung Mengaku
Tidak Memilii Kewenangan
Bandung, KMI –PT IAS dan PT AS, 2
perusahaan rajut diduga bermasalah dengan pajak. Kedua perusahaan ini yang
berhubungan dengan beberapa perusahaan tekstil besar di Bandung, Cimahi,
Bekasi, Karawang, dan daerah lainnya disinyalir terlibat dengan pajak fiktif
sehingga negara dirugikan hingga ratusan milyar rupiah.
Dugaan pajak fiktif ini, informasinya
sedang didalami oleh pihak Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak dengan melakukan
Buper (Penyelidikan,red) termasuk terhadap perusahaan-perusahaan besar yang
diduga berhubungan dengan kedua perusahaan ini.
Informasi yang dihimpun Modus
Investigasi dilapangan, kedua perusahaan ini aktif membeli benang rajut dari
perusahaan-perusahaan besar di beberapa daerah di Jawa Barat, pajak penjualan
dan pembelian benang rajut ini oleh kedua belah pihak diselewengkan dengan
merekayasa pembayaran pajak yang bersifat manipulatif kepada negara, sementara
restitusi pengembalian sangat besar sehingga merugikan negara.
Sumber kepada Modus Investigasi
mengatakan, Buper atau penyelidikan yang dilakukan oleh pihak Dirjen Pajak
meliputi dugaan pajak bermasalah yang menjurus fiktif pada tahun 2016 dan tahun
2017, sementara kedua perusahaan ini disinyalir sudah memainkan modus permainan
pajak ini dari mulai tahun 2014. Sehingga kalau dikalkulasi kerugian negara
dari tahun 2014, bisa diprediksi bahwa kerugian negara sangat besar.
Dikatakan oleh sumber ini, sangat
disayangkan Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Madya Bandung yang berhubungan dan secra rutin memeriksa kedua perusahaan ini
tidak mampu mendeteksi dugaan kenakalan wajib pajak yang diduga merugikan
negara hingga ratusan milyar rupiah.
“KPP Madya Bandung harus bertanggung
jawab juga bila terbukti negara dirugikan hingga ratusan milyar rupiah akibat
kenakalan perusahaan wajib pajak yang secara rutin diawasi, diperiksa, dan
berhubungan. Pihak Dirjen Pajak harus memeriksa juga pihak KPP Madya Bandung,”
tandas Sumber ini.
Menurutnya, sangat tidak masuk akal
dan tidak professional bila pihak KPP Madya Bandung tidak mampu mendeteksi para
wajib pajak yang diawasi dan diperiksa secara rutin. Pihak KPP Madya Bandung
jangan hanya menunggu harus proaktif turun ke lapangan dan harus mengetahui
serta mengenal wajib pajak secara detai.
Modus Investigasi yang minta
tanggapan kepada KPP Madya Bandung melalui surat konfirmasi nomor : 10/Red-KMI/K/IV/2017
untuk objektifitas pemberitaan, melalui suratnya nomor :
S-5600/WPJ.09/KP.11/2017 tertanggal 19 April 2017 yang ditandatangani Kepala
Kantor, Muhsinin dijelaskan berdasarkan Pasal 43A ayat (1) UU no. 28 tahun
2007, dinyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berdasarkan
informasi,data,laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti
permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan.
Diatur dalam pasal 44 bahwa
penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana dibidang perpajakan.
KPP Madya Bandung dalam melakukan
pemeriksaan berdasarkan standar audit dan melakukan langkah-langkah dalam
program audit. Dalam hal ditemukan indikasi tindak pidana perpajakan, maka
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dimulainya penyidikan yang
kewenangannya dilakukan oleh pemeriksa kantor wilayah atau kantor pusat DJP.
Selanjutnya dilakukan penyidikan oleh penyidik di kantor wilayah atau kantor
DJP. Pemeriksaan KPP Madya Bandung tidak mempunyai kewenangan tersebut.
Diatur dalam pasal 8 ayat 3 bahwa
walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan
penyidikan mengenai adanya ketidak benaran yang dilakukan wajib pajak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, terhadap ketidak benaran perbuatan wajib
pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila wajib pajak dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang
beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% ( Seratus lima puluh
persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Dengan demikian jelas bahwa
meskipun telah dilakukan pemeriksaan tetap ada kemungkinan adanya
ketidakbenaran yang dilakukan wajib pajak.
Sesuai dengan UU nomor 11 tahun 2016 tentang
pengampunan pajak, bahwa setiap wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada wajib pajak melalui
pengungkapan harta yang dimilikinya dalam surat pernyataan. Bahwa yang dimaksud
pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak
dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana dibidang perpajakan,
dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam
UU ini. Dengan demikian, dalam hal wajib pajak telah mengikuti pengampunan
pajak, maka wajib pajak akan mendapatkan fasilitas dalam UU pengampunan. *(A-001/KMI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar