Cirebon, KMI -
Dinilai Majelis hakim
yang memutuskan perkara No. 41/Pid.B/2013/PN.Sbr tertanggal 23 April 2013 tidak
sesuai dengan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi
Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/RKY/IV/2009 tentang Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dilaporkan ke Komisi Yudisial RI.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Sumber (PN Sumber) Kab. Cirebon, Panji Surono, SH,MH
(Ketua Majelis), Lucius Sunarno, SH,MH ( Hakim Anggota ), dan Ika Lusiana
Riyanti, SH (Hakim Anggota) dinilai tidak menjalankan Pengadilan yang mandiri,
tidak netral (terkesan memihak), tidak akuntabel dan berwibawa, sehingga
kemampuan menegakkan wibawa hukum, kepastian hukum dan kevadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan
mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.
Majelis hakim ini terkesan tidak
menjadikan Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan
serta proses pembangunan peradaban bangsa. Para Majelis Hakim di PN Sumber ini
memutuskan perkara pidana dalam peradilan tingkat pertama dengan acara
pemeriksaan biasa, tanpa mempertimbangkan kesaksian palsu yang diberikan para
saksi-saksi yang dihadirkan oleh pihak-pihak yang berperkara.
Menanggapi perilaku Majelis Hakim PN
Sumber Kab. Cirebon yang terkesan memihak dan tidak netral ini, Ketua PN
Sumber, Jihad Arkanuddin, SH,MH melalui Humasnya Vicky Daniel Simanjuntak,
SH,MH kepada Modus Investigasi mengatakan Ketua PN Pasrah bila Majelis Hakim
dilaporakan ke Komisi Yudisial.
Senada dengan Humas PN Sumber Kab.
Cirebon, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sumber Edy Winarto, SH,MH melalui
Kasi Pidum Irfan Natakusumah, SH, MH kepada Modus Investigasi mengatakan,
adalah hak semua warga masyarakat melaporkan ketidak puasan terhadap penegakan
hukum yang diterima, tetapi harus ada bukti.
Ketika diminta tanggapannya terhadap
adanya indikasi kejanggalan dalam proses pemeriksaan yang dilakukan Jaksa
Penuntut Umum, Irfan mengatakan sah-sah saja masyarakat melaporkannya kepada
Pengawas Kejaksaan Tinggi atau Pengawas Kejaksaan Agung, asal ada bukti
pendukung.
“Melaporkan berbagai kejanggalan
penegakan hukum sah-sah saja dan juga merupakan hak masyarakat, namun akan
lebih valid kalau ada bukti dan dilaporkan ke polisi,” jelas Irfan.
Penegakan hukum di Kejari dan PN
Sumber Kab. Cirebon dinilai tidak netral dan terkesan memihak setelah Charles Mulyono melaporkan Soni Eka Wijaya ke
pihak Kepolisian dengan tuduhan melakukan tindak pidana “ Penggelapan “
sebagaimana diatur dalam pidana bersalah pasal 372 KUHP.
Tuduhan yang sangkakan kepada Soni
ada 3 hal yaitu menggelapkan uang sebesar Rp 2.161.750, menggelapkan plastik 1
karung Rp 656.120, dan menggelapkan sohun 1 truk.
Perkara pidana dengan dugaan
melakukan penggelapan dan pencurian di PN Sumber dengan memaksakan terdakwa
Soni benar-benar melakukan tindak pidana sesuai yang ditur pada pasal 372 KUHP,
tanpa mempertimbangkan penjelasan Soni yang menjelasakan pada pleidoinya bahwa
uang sebesar Rp 2.161.750,- pada kenyataannya untuk membayar gaji mandor
sebesar Rp 2 juta dan untuk membayar sablon sebesar Rp 200 ribu. Hal ini diakui
saksi Hermanto dimuka persidangan, namun tidak menjadi pertimbangan oleh
Majelis Hakim. Selain membayar gaji mandor, juga membayar gaji harian buruh
sebesar Rp 228 ribu.
Ironisnya, Majelis Hakim menyatakan
kwitansi pembayaran gaji sebesar Rp 2 juta dianggap tidak sah karena tidak ada
tanggalnya, walaupun mandor Endang sebagai penerima gaji dimuka persidangan
mengakui bahwa kwitansi itu benar dibuat dan ditandatangani olehnya ketika
menerima uang.
Pembayaran uang sablon sebesar Rp 200
ribu dijadikan oleh Majelis Hakim menyudutkan Terdakwa Soni dengan mengatakan
uang sablon tersebut digelapkan karena tidak ada kwitansi. Majelis Hakim tidak
mempertimbangkan pengakuan Hermanto sebagai pengusaha sablon yang menyatakan
bahwa Pembayaran gaji Rp 228 ribu tidak diakui, karena sudah bertepatan dengan
hari libur, namun kenyataan fakta persidangan masih ada kegiatan.
Keterangan Saksi Endang di muka
persidangan juga diragukan karena menurut Majelis Hakim Endang tidak layak menerima gaji sebesar Rp 2
juta, karena sudah memperoleh uang makan dan Majelis Hakim yang mengesampingkan
bukti kwitansi dan pengakuan para saksi
menunjukkan bahwa Majelis Hakim tidak bertindak netral, terkesan memaksakan
terdakwa Soni untuk melakukan penggelapan dan penipuan.
Plastik 1 karung senilai Rp 656.120,
yang disita sebagai barang bukti ada 2 karung. Hal itu dinyatakan para saksi
dimuka persidangan bahwa dalam menjalankan tugasnya mengerjakan sablon tersebut
tidak dilengkapi dengan surat pengambilan, dan para saksi menegaskan walaupun
tidak ada surat pengambilan tidak merupakan suatu penggelapan, karena merupakan
pengerjaan penyablonan, dan setelah selesai akan dikembalikan kepada Usman
bagian pengacian perusahaan milik pelapor (Charles Mulyono,red).
Namun pada kenyataannya, pengembalian
karung tersebut dilakukan pada sore hari, sehingga belum sampai kepada Charles,
dan hal itu dilaporkan kepada pihak kepolisian sebagai penggelapan 1 bulan setelahnya. Ironisnya, Majelis Hakim
tidak menjadikan keterangan para saksi sebagai bahan pertimbangan.
Penggelapan 1 truk sohun sebanyak 825
bal, sewaktu barang tersebut dikirim ke Bandung, terdakwa Soni tidak ada dilokasi,
tetapi yang ada adalah saksi Pelapor (Charles,red) yang juga sebagai pemilik
barang. Charles menyuruh menaikkan sohun tersebut dan memberikan terpal serta
tambang, juga menyediakan mobil truk untuk dikirim ke Bandung ke tempat Soni.
Yang mengirim barang adalah Eko dan
Usman tetapi tidak disertai surat jalan. Karena tidak ada nota penjualan,
ketika Soni kembali ke Cirebon meminta untuk dibuatkan nota agar bisa membayar, dan 1 minggu kemudian Sony
(Terdakwa,red) mentransfer uang sebesar Rp 11.676.000 untuk pembayaran sohun
tersebut.
Diketahui kemudian, Terdakwa soni dan
saksi pelapor Charles sebelum bergabung untuk mengelola pabrik milik saksi
pelapor, terdakwa Sony pernah membeli sohun kepada Charles yang pertama 660 bal
dan yang kedua sebanyak 656 bal.
Pembelian pertama sudah dibayar, yang
kedua tidak mau dibayar karena ternyata
barangnya hitam dan bau sehingga barangnya dituntut untuk dikembalikan, namun
Charles tidak mau dikembalikan dan hanya memberikan potongan sebesar Rp
2000/bal. Namun Sony menolaknya karena bisa merugikan konsumen.
Soni bersikeras hanya membayar
pengiriman pertama saja, pengiriman kedua tetap ditolak untuk dibayar, akhirnya
sohun dengan sisa 436 bal diambil oleh Charles melalui supirnya Hendra dengan
menggunakan mobil truk milik Charles dan sebanyak 184 bal disita polisi.
Majelis Hakim memiliki kesimpulan
bahwa pembayaran yang terakhir adalah pembayaran yang sebelumnya, padahal nota
sebelumnya sudah dikembalikan sebanyak 436 bal karena tidak bisa dijual karena
bau dan hitam.
Sikap Majelis Hakim yang hanya
berpatokan kepada pembayaran saja tanpa mempertimbangkan barang yang sudah
dikembalikan, menimbulkan tanda tanya.
Bagaimana mungkin Majelis Hakim hanya berpatokan kepada pembayaran saja
yang merupakan bentuk hitung-hitungan yang belum selesai. Dan sohun 1 truk yang
dituduh digelapkan diberikan sendiri oleh Charles kepada soni untuk dijual.
Anehnya, sopir dan kernet yang
mengirim sohun 1 truk tersebut tidak dijadikan tersangka oleh Jaksa Penuntut
Umum (JPU) dan tidak dihukum, karena yang membawa sohun tersebut ke tempat Soni
adalah supir dan kernet truk tersebut. Sehingga bisa dipastikan bila ada temuan
penggelapan, harus sopir dan kernet yang menjadi pelakunya.
Diduga perkara pidana ini penuh
dengan rekayasa dari mulai tingkat penyidikan, penyelidikan hingga penanganan
pemeriksaan oleh JPU hingga kepada putusan Majelis Hakim. *(HaN/Anas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar