Kamis, 01 Agustus 2013

Komersialisasi Dunia Pendidikan Tergolong Stadium Gawat Darurat di Kota Bandung



Oleh : Hans Nainggolan


Masih terngiang dikuping warga Jawa Barat janji kampanye yang dilontarkan pasangan Ahmad Heryawan – Dedy Mizwar (Aher-Demiz) yang tampil sebagai  pemenang Pilkada Jabar dan sudah dilantik Menteri Dalam Negeri untuk masa bhakti 2013 – 2018 untuk memimpin Jawa Barat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
Pasangan ini dengan suara lantang dan bersemangat menjanjikan mulai bulan Juni 2013 bila mereka memenangkan Pilgub Jabar akan menggratiskan pendidikan di Jawa Barat mulai tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK).
Janji kampanye ini merupakan harapan baru kepada warga Jawa Barat, khusunya warga kota Bandung yang sudah bosan dengan komersialisasi berbagai pungutan di sekolah ditingkatan yang dijanjikan Aher – Demiz ini.
Ada acungan jempol kepada pasangan ini saat mendengar janji kampanyenya. Harapan akan terlepas dari berbagai pungutan di tingkatan SD, SMP, SMA/SMK terbayang, dan para siswa terbebas dari beban mental yang menghindari atau cenderung malas pergi sekolah hanya karena berbagai tagihan yang terjadi di sekolah.
Harapan orang tua yang merasa khawatir akan mental anaknya tidak tertekan dan merasa minder/malu di sekolah karena belum mampu melunasi berbagai pungutan yang di setting sedemikian rupa oleh pihak sekolah yang berlindung dibalik komite sekolah terhadap janji kampanye ini sangat tinggi, sehingga kemenangan pasangan ini berjalan mulus tanpa harus ada putaran kedua atau putaran lanjutan pada Pilgub Jabar.
Namun, harapan hanya tinggal dengungan janji ditelinga para orang tua siswa, karena ternyata setelah pasangan ini dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat, janji kampanye ini belum terlihat ataupun terdengar gebrakannya.
Malah yang terjadi sangat bertolak belakang dengan janji tersebut, berbagai manuver Sekolah-sekolah di Kota Bandung memeras orang tua murid. Permainan menjurus keras cenderung kasar.
Pada tahun ajaran baru tahun 2013, ditingkat SD, SMP, dan SMA/SMK sudah mulai ada manuver komersialisasi dengan dalih sekolah Favorit, sehingga dalam menyekolahkan anak di Sekolah Favorit ini orang tua siswa harus merogoh koceknya dengan jumlah yang cukup besar, asal bisa sekolah di Sekolah Favorit ini.
Bila tidak merogoh kocek, akan ada alasan klasik dari Kepala Sekolah atau guru dengan mengatakan bahwa kelas sudah penuh. Kuota kursi siswa sangat terbatas, sehingga dengan berat hati dan menyesal tidak bisa menerima siswa tersebut di Sekolah favorit ini.
Anehnya, seorang orang tua siswa yang menghadap kepala Sekolah Favorit dengan amplop tebal berisi uang ditangan, kelas yang sudah penuh dan kuota yang sudah terisi ini akan berubah drastis, dengan sikap yang sangat ramah Kepala Sekolah Favorit ini mengucapkan wellcome kepada siswa dengan orang tua berkantong tebal ini.
Persoalan Passing Grade juga merupakan permasalahan serius, Passing Grade ini juga digunakan menjadi sarana komersialisasi pendidikan yang mengarah kepada tindak pidana gratifikasi.
Siswa yang passing grade nya dibawah rata-rata dan tidak memenuhi nominasi untuk memasuki sekolah tententu dipaksakan untuk diterima di sekolah tersebut. Praktek gratifikasi sangat kasar dalam permasalahan yang satu ini. Oknum-oknum Wartawan, LSM, Ormas banyak yang bermain dengan Kepala Sekolah melalui panitia penerima siswa baru.
Di tingkat SMP, SMA/SMK Negeri beredar uang gratifikasi yang tidak sedikit. Bila dikalkulasi di tingkat SMP dan SMA/SMK Negeri di Kota Bandung, bisa di prediksi mencapai Milyaran Rupiah. Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap permainan ini.
Dalam persoalan passing grade ini juga bermain rekomendasi dan memo orang-orang tertentu yang memiliki jabatan dan pengaruh di Kota Bandung. Konon oknum penegak hukum juga tidak sedikit yang memberikan rekomendasi ataupun memo ini.
Selanjutnya, terjadilah manuver dan praktik Komersialisasi yang membuat geleng kepala. Sekolah –sekolah ini berubah wujud menjadi sarana berdagang, dari mulai seragam sekolah, seragam batik, seragam pramuka, pakaian olahraga, kaos kaki hingga sepatu siswa.
Dengan gaya halus, Sekolah-sekolah ini menyampaikan kepada orang tua, dengan mengatakan beli aneka macam seragam, kaos kaki dan sepatu tidak diharuskan, boleh membeli diluar sekolah. Namun orang tua siswa yang khawatir ada perbedaan corak maupun style seragam yang dijual diluar sekolah dengan yang disiapkan oleh sekolah, merasa was-was dan dengan berat hati dipaksakan membeli di sekolah.
Hebatnya ada pihak lain diluar pihak sekolah menyiapkan seragam sekolah dan dengan bebas melayani siswa di ruangan khusus yang disiapkan sekolah, sehingga ruangan itu yang seharusnya diperuntukkan ruangan untuk kegiatan belajar dan mengajar, berubah fungsi menjadi pasar ataupun toko tempat berjualan seragam sekolah.
Inilah sekelumit gambaran komersialisasi yang terjadi di kalangan pendidikan kota Bandung, diduga akan terjadi komersialisasi pendidikan lainnya yang lebih parah, yaitu pungutan lain yang melibatkan pihak komite sekolah.
Sampai kapan hal ini terjadi, belum ada jawaban yang pasti untuk itu. Bagaimana realisasi janji kampanye Aher-Demiz, warga kota Bandung dan Jawa Barat akan menunggunya. **Penulis adalah Wartawan di beberapa Media terbitan Jakarta dan Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Atasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg, Pemkab Pangandaran Harus Segera Miliki SPBE

PANGANDARAN, KMI - Dengan adanya keterkaitan, mahalnya Gas Elpiji di kabupaten Pangandaran dan maraknya harga penjualan gas elpiji 3 k...