Jumat, 31 Januari 2014

Ketua PN Sumber Pasrah



Cirebon, KMI - Dinilai Majelis hakim yang memutuskan perkara No. 41/Pid.B/2013/PN.Sbr tertanggal 23 April 2013 tidak sesuai dengan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/RKY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dilaporkan ke Komisi Yudisial RI.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumber (PN Sumber) Kab. Cirebon, Panji Surono, SH,MH (Ketua Majelis), Lucius Sunarno, SH,MH ( Hakim Anggota ), dan Ika Lusiana Riyanti, SH (Hakim Anggota) dinilai tidak menjalankan Pengadilan yang mandiri, tidak netral (terkesan memihak), tidak akuntabel dan berwibawa, sehingga kemampuan menegakkan wibawa hukum, kepastian hukum dan kevadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.
Majelis hakim ini terkesan tidak menjadikan Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa. Para Majelis Hakim di PN Sumber ini memutuskan perkara pidana dalam peradilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa, tanpa mempertimbangkan kesaksian palsu yang diberikan para saksi-saksi yang dihadirkan oleh pihak-pihak yang berperkara.
Menanggapi perilaku Majelis Hakim PN Sumber Kab. Cirebon yang terkesan memihak dan tidak netral ini, Ketua PN Sumber, Jihad Arkanuddin, SH,MH melalui Humasnya Vicky Daniel Simanjuntak, SH,MH kepada Modus Investigasi mengatakan Ketua PN Pasrah bila Majelis Hakim dilaporakan ke Komisi Yudisial.
Senada dengan Humas PN Sumber Kab. Cirebon, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sumber Edy Winarto, SH,MH melalui Kasi Pidum Irfan Natakusumah, SH, MH kepada Modus Investigasi mengatakan, adalah hak semua warga masyarakat melaporkan ketidak puasan terhadap penegakan hukum yang diterima, tetapi harus ada bukti.
Ketika diminta tanggapannya terhadap adanya indikasi kejanggalan dalam proses pemeriksaan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum, Irfan mengatakan sah-sah saja masyarakat melaporkannya kepada Pengawas Kejaksaan Tinggi atau Pengawas Kejaksaan Agung, asal ada bukti pendukung.
“Melaporkan berbagai kejanggalan penegakan hukum sah-sah saja dan juga merupakan hak masyarakat, namun akan lebih valid kalau ada bukti dan dilaporkan ke polisi,” jelas Irfan.
Penegakan hukum di Kejari dan PN Sumber Kab. Cirebon dinilai tidak netral dan terkesan memihak setelah  Charles Mulyono melaporkan Soni Eka Wijaya ke pihak Kepolisian dengan tuduhan melakukan tindak pidana “ Penggelapan “ sebagaimana diatur dalam pidana bersalah pasal 372 KUHP.
Tuduhan yang sangkakan kepada Soni ada 3 hal yaitu menggelapkan uang sebesar Rp 2.161.750, menggelapkan plastik 1 karung Rp 656.120, dan menggelapkan sohun 1 truk.
Perkara pidana dengan dugaan melakukan penggelapan dan pencurian di PN Sumber dengan memaksakan terdakwa Soni benar-benar melakukan tindak pidana sesuai yang ditur pada pasal 372 KUHP, tanpa mempertimbangkan penjelasan Soni yang menjelasakan pada pleidoinya bahwa uang sebesar Rp 2.161.750,- pada kenyataannya untuk membayar gaji mandor sebesar Rp 2 juta dan untuk membayar sablon sebesar Rp 200 ribu. Hal ini diakui saksi Hermanto dimuka persidangan, namun tidak menjadi pertimbangan oleh Majelis Hakim. Selain membayar gaji mandor, juga membayar gaji harian buruh sebesar Rp 228 ribu.
Ironisnya, Majelis Hakim menyatakan kwitansi pembayaran gaji sebesar Rp 2 juta dianggap tidak sah karena tidak ada tanggalnya, walaupun mandor Endang sebagai penerima gaji dimuka persidangan mengakui bahwa kwitansi itu benar dibuat dan ditandatangani olehnya ketika menerima uang.
Pembayaran uang sablon sebesar Rp 200 ribu dijadikan oleh Majelis Hakim menyudutkan Terdakwa Soni dengan mengatakan uang sablon tersebut digelapkan karena tidak ada kwitansi. Majelis Hakim tidak mempertimbangkan pengakuan Hermanto sebagai pengusaha sablon yang menyatakan bahwa Pembayaran gaji Rp 228 ribu tidak diakui, karena sudah bertepatan dengan hari libur, namun kenyataan fakta persidangan masih ada kegiatan.
Keterangan Saksi Endang di muka persidangan juga diragukan karena menurut Majelis Hakim  Endang tidak layak menerima gaji sebesar Rp 2 juta, karena sudah memperoleh uang makan dan Majelis Hakim yang mengesampingkan bukti kwitansi dan pengakuan para saksi  menunjukkan bahwa Majelis Hakim tidak bertindak netral, terkesan memaksakan terdakwa Soni untuk melakukan penggelapan dan penipuan.
Plastik 1 karung senilai Rp 656.120, yang disita sebagai barang bukti ada 2 karung. Hal itu dinyatakan para saksi dimuka persidangan bahwa dalam menjalankan tugasnya mengerjakan sablon tersebut tidak dilengkapi dengan surat pengambilan, dan para saksi menegaskan walaupun tidak ada surat pengambilan tidak merupakan suatu penggelapan, karena merupakan pengerjaan penyablonan, dan setelah selesai akan dikembalikan kepada Usman bagian pengacian perusahaan milik pelapor (Charles Mulyono,red).
Namun pada kenyataannya, pengembalian karung tersebut dilakukan pada sore hari, sehingga belum sampai kepada Charles, dan hal itu dilaporkan kepada pihak kepolisian sebagai penggelapan  1 bulan setelahnya. Ironisnya, Majelis Hakim tidak menjadikan keterangan para saksi sebagai bahan pertimbangan.
Penggelapan 1 truk sohun sebanyak 825 bal, sewaktu barang tersebut dikirim ke Bandung, terdakwa Soni tidak ada dilokasi, tetapi yang ada adalah saksi Pelapor (Charles,red) yang juga sebagai pemilik barang. Charles menyuruh menaikkan sohun tersebut dan memberikan terpal serta tambang, juga menyediakan mobil truk untuk dikirim ke Bandung ke tempat Soni.
Yang mengirim barang adalah Eko dan Usman tetapi tidak disertai surat jalan. Karena tidak ada nota penjualan, ketika Soni kembali ke Cirebon meminta untuk dibuatkan nota  agar bisa membayar, dan 1 minggu kemudian Sony (Terdakwa,red) mentransfer uang sebesar Rp 11.676.000 untuk pembayaran sohun tersebut.
Diketahui kemudian, Terdakwa soni dan saksi pelapor Charles sebelum bergabung untuk mengelola pabrik milik saksi pelapor, terdakwa Sony pernah membeli sohun kepada Charles yang pertama 660 bal dan yang kedua sebanyak 656 bal.
Pembelian pertama sudah dibayar, yang kedua tidak mau dibayar karena  ternyata barangnya hitam dan bau sehingga barangnya dituntut untuk dikembalikan, namun Charles tidak mau dikembalikan dan hanya memberikan potongan sebesar Rp 2000/bal. Namun Sony menolaknya karena bisa merugikan konsumen.
Soni bersikeras hanya membayar pengiriman pertama saja, pengiriman kedua tetap ditolak untuk dibayar, akhirnya sohun dengan sisa 436 bal diambil oleh Charles melalui supirnya Hendra dengan menggunakan mobil truk milik Charles dan sebanyak 184 bal disita polisi.
Majelis Hakim memiliki kesimpulan bahwa pembayaran yang terakhir adalah pembayaran yang sebelumnya, padahal nota sebelumnya sudah dikembalikan sebanyak 436 bal karena tidak bisa dijual karena bau dan hitam.
Sikap Majelis Hakim yang hanya berpatokan kepada pembayaran saja tanpa mempertimbangkan barang yang sudah dikembalikan, menimbulkan tanda tanya.  Bagaimana mungkin Majelis Hakim hanya berpatokan kepada pembayaran saja yang merupakan bentuk hitung-hitungan yang belum selesai. Dan sohun 1 truk yang dituduh digelapkan diberikan sendiri oleh Charles kepada soni untuk dijual.
Anehnya, sopir dan kernet yang mengirim sohun 1 truk tersebut tidak dijadikan tersangka oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan tidak dihukum, karena yang membawa sohun tersebut ke tempat Soni adalah supir dan kernet truk tersebut. Sehingga bisa dipastikan bila ada temuan penggelapan, harus sopir dan kernet yang menjadi pelakunya.
Diduga perkara pidana ini penuh dengan rekayasa dari mulai tingkat penyidikan, penyelidikan hingga penanganan pemeriksaan oleh JPU hingga kepada putusan Majelis Hakim. *(HaN/Anas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Atasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg, Pemkab Pangandaran Harus Segera Miliki SPBE

PANGANDARAN, KMI - Dengan adanya keterkaitan, mahalnya Gas Elpiji di kabupaten Pangandaran dan maraknya harga penjualan gas elpiji 3 k...