Oleh : Hans Nainggolan
Persoalan
penegakan hukum (law inforcement) yang
terkesan diskriminatif dan memihak merupakan potret buram perilaku penegak
hukum. Masyarakat kecil dan awam
cenderung merupakan korban dalam
mendongkrak prestasi sebagian oknum penegak hukum yang nakal, sementara
koruptor yang mampu memberikan materi
berbentuk uang atau berbentuk souvenir lainnya seperti rumah, mobil dan lain
sebagainya dijadikan komoditi untuk memperkaya diri dengan imbalan hukuman yang
ringan tentunya.
Dengan dalih
bahwa hukum berlaku kepada semua orang, dan nilai pelanggaran hukum itu sama
dimata hukum itu sendiri, warga kecil akan terjerat dengan hukuman yang sangat
berat sesuai aturan hukum karena oknum penegak hukum itu melihat dan menelaah
bahwa rakyat kecil itu tidak akan mampu menyiapkan sejumlah uang. Disamping itu
si rakyat kecil tidak akan bisa berbuat apa-apa, karena disamping tidak mampu
menyiapkan pengacara sebagai pembela di pengadilan juga awam masalah hukum.
Berbeda
dengan pelanggar hukum dengan kategori
orang kuat ataupun koruptor, disamping memiliki uang yang banyak, juga
mampu membayar para pengacara ternama dan mampu pula menyenangkan para penegak
hukum, sehingga biarpun dirinya merupakan salah seorang kategori pelanggar
hukum ataupun tersangka, selalu mendapat posisi yang istimewa. Ironisnya banyak
pihak yang menyatakan diri mendukung pelanggar hukum yang kuat ini, sehingga
para penegak hukum nakal tidak ragu-ragu memplesetkan hukum demi meringankan
vonnis yang menimpa pelanggar hukum yang kuat ini.
Terjadilah
penegakan hukum yang timpang, tidak seimbang dan cenderung tidak adil. Pencuri
sepasang sendal jepit, atau setandan pisang sama hukumannya dengan seorang
koruptor yang merugikan negara hingga puluhan milyaran rupiah. Masyarakat awam
yang tidak punya uang akan merasakan atmosfir penjara yang sangat tidak layak,
berdesak-desak, jatah makanan yang sangat kurang juga persediaan air yang
sangat minim.
Berbeda
dengan penjara pelanggar hukum dengan kategori orang kuat atau koruptor, sel
penjara yang ditempatinya sangat bersih, ada lemari, ada TV khusus untuk
dirinya, bebas memakai sarana IT dan sarana telepon seluler dan bahkan ada yang
menyewa rumah di tempat yang dekat diluar penjara, tanpa ada penjelasan dari
pihak Lembaga Pemasyarakatan ataupun pihak Kementerian Hukum dan Ham bagaimana
proses seorang terpidana bisa menyewa rumah di luar penjara.
Orang kuat
yang banyak uang ini juga dengan berbagai manuver bisa mengadakan petemuan di
dalam penjara, menerima tamu yang terus menerus, bak seorang tokoh selalu
dibanjiri tamu. Disamping itu terjadi rekayasa-rekayasa seolah-olah orang kuat
yang punya uang banyak ini sakit, sehingga bisa dengan rutin meninggalkan
penjara dengan alasan therapy di rumah sakit, padahal itu semua hanyalah
merupakan akal bulus. Benar, terpidana yang memiliki uang banyak ini
keberadaannya ada di rumah sakit bertaraf Internasional, namun keberadaannya di
rumah sakit tersebut hanyalah kamuflase, ruangan rumah sakit tersebut sudah
disulap seperti ruangan hotel juga pelayanan seperti di hotel. Terpidana yang
banyak uang ini hanya istirahat disana, malah disinyalir menikmati hidup dengan
mendatangkan wanita-wanita cantik juga artis-artis penyanyi ke ruangan rumah
sakit yang disulap seperti kamar hotel tersebut.
Upaya
penegakan hukum merupakan persoalan fundamental yang harus selalu dilaksanakan,
berbagai persoalan ketidakadilan seolah selalu menumbuhkan rasa kebencian
terhadap hukum, maka tak ayal dalam kehidupan nyata makna dari hukum kerap
diplesetkan oleh masyarakat dengan kata-kata bahasa yang cenderung nyeleneh.
Kenyataan
ini, tentunya, tidak lahir begitu saja tanpa adanya realitas yang
dipertontonkan oleh aparat penegak hukum, dalam pelaksanaan penegakan hukum
seperti sekarang ini. Jika kita perhatikan secara seksama persoalan penegakan
hukum sepertinya memang benar-benar menjadi bahan cemoohan dari masyarakat, dan
hal ini lebih disebabkan pada faktor penegak hukum itu sendiri (yusticia) dalam
mengimplementasikan prinsip law enforcement.
Dalam
perilaku keseharian penegakan hukum yang terjadi kepada masyarakat sering ditemukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang seringkali
medapat respons progresif dari penegak hukum, seperti halnya penegakan hukum
terhadap dana bansos Kota Bandung, penegakan hukum terhadap perilaku tindak
pidana korupsi ini terkesan sarat dengan penegakan hukum.
Sangat
mengherankan, para karyawan Pemerintah Kota Bandung dengan pangkat dan jabatan
rendah, bertugas sebagai pelaksana juga tidak pemegang kebijakan harus mendapat
vonnis dan dihukum dengan berbagai azas pertimbangan yang cenderung merupakan
rekayasa.
Kemungkinan
berbagai kejanggalan penegakan hukum ini tercium oleh berbagai pihak, sehingga
kebiasaan gratifikasi yang sering terjadi dalam prosesnya terbaca oleh pihak
KPK dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung, Setia Budi Tejo Cahyono
ditangkap ketika akan menerima uang suap.
Ada sebuah
adagium, “korupsi sebanyak mungkin, maka hukuman pun akan ringan, serta mampu
membayar penegak hukum, dan masih ada sisa hasil korupsi yang bisa dikmati
dihari tua”. Dalam sikon yang demikian jangan heran kalau orang yang tidak
mampu (miskin) tidak akan memperoleh kebenaran karena keadilan sudah diperkosa,
semakin parah saja prahara penegakan hukum sekarang ini.
Melihat
situasi ini, penegak hukum semestinya lebih mengedepankan sifat moralitas serta
mentalitasnya, dalam melaksanakan penegakan hukum tanpa memandang kasta dan
strata sosial dalam tatanan kehidupan masyarakat. Hal ini bertujuan agar morality
of law dapat diimplimentasi dengan sempurna, walaupun dalam kaitannya antara
moralitas hukum dengan moralitas masyarakat sosial, memiliki perbedaan. Namun,
minimal ketika hal ini dapat terbangun, maka aspek kesadaran hukum bagi
masyarakat akan mudah untuk diwujudkan. Dalam hal ini prilaku penegak Hukum
sangat mempengaruhi terhadap berkerjanya prinsip ini.
Upaya
penegakan hukum yang berkeadilan, aspek pemahaman hukum bagi aparat penegak
hukum kiranya perlu ditinjau ulang oleh setiap instansi penegak hukum, agar
dapat menumbuhkan integritas, kredibilitas, dan kapabilitas aparat penegak
hukumnya. Setiap aparat penegak dapat menggerakkan dan mengaktualisasikan
hukum, karena perlu dipahami jika hukum itu tidak dapat bergerak dengan
sendirinya. Sehingga ungkapan “hukum itu selalu terlambat” adalah keliru.
Upaya
penumbuhan pemahaman hukum bagi para penegak dapat dilakukan melalui program
pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental,
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan intelektualitas tiap aparat hukum
tersebut. Agenda pengembangan kualitas profesional di kalangan profesi hukum
ini perlu dipisahkan dari program pembinaan pegawai administrasi dilingkungan
lembaga-lembaga hukum tersebut. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar