Oleh : Hans Nainggolan
Dalam menjalankan pelayanan kepada masyarakat,
aparatur pemerintah sebagai penyelenggara negara hingga saat ini masih menjadi
buah bibir di kalangan warga masyarakat itu sendiri. Pasalnya para aparatur ini
baik ditingkat pusat, daerah hingga tingkat kelurahan dan RT/RW masih
menjalankan cerita lama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Berbagai manuver dan cara dilakukan para aparatur
penyelenggara Negara ini memperberat urusan dengan birokrasi bertele-tele, agar
warga masyarakat tersebut pusing kepala dan akhirnya menawarkan sesuatu yang
tidak lajim demi lancarnya urusan.
Aparatur ini, atau lebih tepatnya disebut oknum
aparatur dengan gaya dan sikap seolah-olah tidak butuh, spontan berkata bahwa
apa yang diberikan warga masyarakat tersebut sebenarnya tidak perlu, karena
tanpa itu juga para aparatur ini pasti akan menjalankan tugas sesuai aturan.
Namun, perkataan spontan tersebut hanyalah merupakan
‘ketebelece’ nyatanya sebelum sesuatu yang tidak tersurat tapi tersirat dihati
oknum aparatur ini dipenuhi, beraneka ragam birokrasi bertele-tele yang muncul.
Birokrasi bertele-tele itu diciptakan seolah-olah
substansif terhadap urusan, namun bila ditilik dari kepentingannya tidak begitu
pengaruh terhadap apa yang diurus oleh warga masyarakat.
Menilik dari beraneka ragam birokrasi bertele-tele ini
memcerminkan bahwa masih banyak oknum aparatur sebagai penyelenggara Negara
yang tidak menyadari bahwa mereka adalah pelayan masyarakat yang digaji dari
uang masyarakat.
Oknum aparatur ini menegakkan wibawa, seolah jauh
lebih super dari warga masyarakat yang menggajinya. Situasi menjadi samar,
kondisi ini membuat buram arti dari sebuah pelayanan, dan keadaan menjadi
terbalik. Yang semestinya yang menjadi Tuan adalah warga masyarakat, kini oknum
aparatur inilah yang mengendalikan keadaan sehingga secara tidak langsung, sang
oknum aparaturlah yang menjadi Tuan.
Kondisi ini membuat miris, dan tidak jelas sampai
kapan situasi seperti ini akan terjadi. Sia-sia semua janji-janji kampanye sang
pemimpin yang kala pencalonan dirinya selalu berkoar-koar untuk kepentingan
rakyat, demi rakyat, pro rakyat, dan untuk rakyat.
Gaung suara yang mengatakan kepentingan rakyat akan
dikedepankan, selalu terngiang dikuping masyarakat itu sendiri. Namun setelah
sang pemimpin ini duduk di kursinya atas pilihan rakyat. Janji-jaji kampanye
tersebut hanyalah isapan jempol semata. Kenyataan yang terjadi, sang pemimpin
pilihan rakyat ini lupa akan janjinya untuk kepentingan rakyat.
Celakanya, diantara para pemimpin ini terekpost bahwa dengan
sengaja menutup sebelah mata akan tindakan para anak buahnya. Tidak jelas
diketahui kenapa demikian. Sehingga para oknum aparatur ini dengan berbagai
kesempatan, berusaha menciptakan Birokrasi bertele-telentuk menyedot uang
masyarakat. []
*Penulis adalah Wartawan, tinggal di
Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar