Oleh : Hans Nainggolan
Perilaku
Tindak Pidana Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang marak disiarkan
berbagai mass media, baik dikalangan eksekutif, yudikatif, maupun legislatif
menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999, tentang
penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,
tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat.
Kasus
korupsi terkesan belit membelit satu dengan yang lainnya nyaris merata dengan
kelakuan yang sama namun praktek berbeda. Ironisnya praktek yang menyakiti hati
dan mengisap darah rakyat ini diduga melibatkan oknum-Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), oknum menteri,oknum Gubernur,
oknum Bupati, Oknum Camat, oknum Lurah, Oknum Kepala Dinas, oknum Rekanan,
bahkan pentolan penegak hukum di MA dan lain sebagainya.
Para Pejabat atau yang
dianggap Bapak Masyarakat ini yang diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat
luas mengenai tertibnya hukum dan tertib sosial, ternyata justru harus duduk di
kursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi, sehingga cita-cita
reformasi dengan mewujudkan aparatur pemerintah yang good goverment and clean geverment sangat sulit dan nyaris hanyalah
sebatas semboyan yang didengung-dengungkan.
Hebatnya,
oknum-oknum yang sudah terjerat dan memiliki bukti melakukan tindak pidana
korupsi, masih saja berkelit dan berbagai dalih dan upaya pembelaan diri dengan
menyatakan diri tidak bersalah. Demikian juga teman-temannya pejabat lainnya
yang memiliki hubungan atau kemungkinan satu kroni, dengan begitu hebatnya
membela bahwa yang sudah disangkakan melakukan tindak korupsi tidak boleh
diadili secara sosial masyarakat. Dengan mengatakan agar memberikan segala
permasalahan teman atau kroninya ini diserahkan kepada penanganan hukum, dan
menghormati proses hukum, begitu hebatnya membela di depan umum, sehingga
tersangka pelaku maling uang rakyat ini memperoleh dukungan moral.
Dengan
dalih membantu penegakan proses hukum agar diterapkan dengan benar, juga masih
ada pengacara yang tampil membela para tersangka koruptor ini, seolah-olah
bahwa uang rakyat yang dikorupsikan dengan nilai yang sangat besar tidak
merupakan beban moral bagi pengacara ini. Dengan tampil elegant, menegakkan
wibawa bak orang hebat seperti orang paling benar dan hebat membela kliennya.
Parahnya
ada hakim Tipikor yang mengetuk palu di persidangan dengan memutuskan bahwa
yang diduga koruptor bebas dan tidak bersalah. Dengan dalih tidak terbukti
sehingga tanpa beban membebaskan yang diduga mencuri uang rakyat. Ironisnya
keputusan itu berdasarkan KeTuahanan Yang Maha Esa Lagi.
Peristiwa-peristiwa
ini sangat membingungkan rakyat awam, juga menimbulkan ketidak percayaan rakyat
kepada lembaga penegak hukum lainnya. Betapa tidak !?. pihak penyidik ataupun
yang lebih trend saat ini dengan adanya Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sudah
memiliki bukti dan menuntut pelaku korupsi dengan hukuman yang berat,
berdasarkan Uandang-Undang, namun sang pengadil yang memiliki sebutan ‘Hakim’
memvonnis dengan hukuman yang lebih rendah atau membebaskan.
Timbul
pertanyaan, mengapa Undang-Undang di lembaga-lembaga hukum ini berbeda ?,
rata-rata mereka menuntut dan memiliki ilmu hukum yang sama, tapi kenapa
penerapannya berbeda ? siapa sebenarnya yang professional diantara mereka ? dan
siapa yang bodoh diantara mereka ?
Apakah
dalam penerapan hukum ini para penegak hukum ini mengingat rakyat ? Benarkah
dalam penerapan hukum itu juga terjadi konspirasi yang mengabaikan kepentingan
rakyat ? agaknya semuanya samar.
Bukan
sekedar desas-desus, tapi juga sudah menjurus kearah warna dan bentuk bahwa
negeri ini merupakan salah satu negeri terkorup nomor sekian. Namun semua
penduduk dan pejabat negeri ini menabuh genderang perang terhadap tindak pidana
korupsi.
Tidak
ada seorangpun aparatur negeri ini yang tidak menyerukan “PERANGI KORUPSI” .
Seruan ini menunjukkan bahwa yang menyerukan adalah seorang yang pro rakyat dan
‘clean’. Namun sebaliknya bahaya laten korupsi tetap terjadi, untuk siapa
seruan itu didengungkan ? Bukankah mendengungkan sesuatu merupakan tekad untuk
dilaksanakan ? tetapi kenapa tindak pidana korupsi sulit padam ?
Jangan-jangan
dengungan untuk memerangi korupsi ini hanyalah suatu cara untuk menina bobokan
masyarakat, sehingga tetap berdiam diri biarpun menyaksikan kezoliman tindak
pidana korupsi tetap berjalan. Situasi ini untuk kepentingan rakyat atau
memanfaatkan rakyat ? ***
*** Penulis adalah Wartawan tinggal di Bandung
– Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar