Rabu, 01 Mei 2013

Keadilan Vs Uang Suap



Oleh : Hans Nainggolan 
Persoalan penegakan hukum  (law inforcement) yang terkesan diskriminatif dan memihak merupakan potret buram perilaku penegak hukum.  Masyarakat kecil dan awam cenderung  merupakan korban dalam mendongkrak prestasi sebagian oknum penegak hukum yang nakal, sementara koruptor  yang mampu memberikan materi berbentuk uang atau berbentuk souvenir lainnya seperti rumah, mobil dan lain sebagainya dijadikan komoditi untuk memperkaya diri dengan imbalan hukuman yang ringan tentunya.
Dengan dalih bahwa hukum berlaku kepada semua orang, dan nilai pelanggaran hukum itu sama dimata hukum itu sendiri, warga kecil akan terjerat dengan hukuman yang sangat berat sesuai aturan hukum karena oknum penegak hukum itu melihat dan menelaah bahwa rakyat kecil itu tidak akan mampu menyiapkan sejumlah uang. Disamping itu si rakyat kecil tidak akan bisa berbuat apa-apa, karena disamping tidak mampu menyiapkan pengacara sebagai pembela di pengadilan juga awam masalah hukum.
Berbeda dengan pelanggar hukum dengan kategori  orang kuat ataupun koruptor, disamping memiliki uang yang banyak, juga mampu membayar para pengacara ternama dan mampu pula menyenangkan para penegak hukum, sehingga biarpun dirinya merupakan salah seorang kategori pelanggar hukum ataupun tersangka, selalu mendapat posisi yang istimewa. Ironisnya banyak pihak yang menyatakan diri mendukung pelanggar hukum yang kuat ini, sehingga para penegak hukum nakal tidak ragu-ragu memplesetkan hukum demi meringankan vonnis yang menimpa pelanggar hukum yang kuat ini.
Terjadilah penegakan hukum yang timpang, tidak seimbang dan cenderung tidak adil. Pencuri sepasang sendal jepit, atau setandan pisang sama hukumannya dengan seorang koruptor yang merugikan negara hingga puluhan milyaran rupiah. Masyarakat awam yang tidak punya uang akan merasakan atmosfir penjara yang sangat tidak layak, berdesak-desak, jatah makanan yang sangat kurang juga persediaan air yang sangat minim.
Berbeda dengan penjara pelanggar hukum dengan kategori orang kuat atau koruptor, sel penjara yang ditempatinya sangat bersih, ada lemari, ada TV khusus untuk dirinya, bebas memakai sarana IT dan sarana telepon seluler dan bahkan ada yang menyewa rumah di tempat yang dekat diluar penjara, tanpa ada penjelasan dari pihak Lembaga Pemasyarakatan ataupun pihak Kementerian Hukum dan Ham bagaimana proses seorang terpidana bisa menyewa rumah di luar penjara.
Orang kuat yang banyak uang ini juga dengan berbagai manuver bisa mengadakan petemuan di dalam penjara, menerima tamu yang terus menerus, bak seorang tokoh selalu dibanjiri tamu. Disamping itu terjadi rekayasa-rekayasa seolah-olah orang kuat yang punya uang banyak ini sakit, sehingga bisa dengan rutin meninggalkan penjara dengan alasan therapy di rumah sakit, padahal itu semua hanyalah merupakan akal bulus. Benar, terpidana yang memiliki uang banyak ini keberadaannya ada di rumah sakit bertaraf Internasional, namun keberadaannya di rumah sakit tersebut hanyalah kamuflase, ruangan rumah sakit tersebut sudah disulap seperti ruangan hotel juga pelayanan seperti di hotel. Terpidana yang banyak uang ini hanya istirahat disana, malah disinyalir menikmati hidup dengan mendatangkan wanita-wanita cantik juga artis-artis penyanyi ke ruangan rumah sakit yang disulap seperti kamar hotel tersebut.
Upaya penegakan hukum merupakan persoalan fundamental yang harus selalu dilaksanakan, berbagai persoalan ketidakadilan seolah selalu menumbuhkan rasa kebencian terhadap hukum, maka tak ayal dalam kehidupan nyata makna dari hukum kerap diplesetkan oleh masyarakat dengan kata-kata bahasa yang cenderung nyeleneh.
Kenyataan ini, tentunya, tidak lahir begitu saja tanpa adanya realitas yang dipertontonkan oleh aparat penegak hukum, dalam pelaksanaan penegakan hukum seperti sekarang ini. Jika kita perhatikan secara seksama persoalan penegakan hukum sepertinya memang benar-benar menjadi bahan cemoohan dari masyarakat, dan hal ini lebih disebabkan pada faktor penegak hukum itu sendiri (yusticia) dalam mengimplementasikan prinsip law enforcement.
Dalam perilaku keseharian penegakan hukum yang terjadi kepada masyarakat  sering ditemukan  pelanggaran-pelanggaran hukum yang seringkali medapat respons progresif dari penegak hukum, seperti halnya penegakan hukum terhadap dana bansos Kota Bandung, penegakan hukum terhadap perilaku tindak pidana korupsi ini terkesan sarat dengan penegakan hukum.
Sangat mengherankan, para karyawan Pemerintah Kota Bandung dengan pangkat dan jabatan rendah, bertugas sebagai pelaksana juga tidak pemegang kebijakan harus mendapat vonnis dan dihukum dengan berbagai azas pertimbangan yang cenderung merupakan rekayasa.
Kemungkinan berbagai kejanggalan penegakan hukum ini tercium oleh berbagai pihak, sehingga kebiasaan gratifikasi yang sering terjadi dalam prosesnya terbaca oleh pihak KPK dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung, Setia Budi Tejo Cahyono ditangkap ketika akan menerima uang suap.
Ada sebuah adagium, “korupsi sebanyak mungkin, maka hukuman pun akan ringan, serta mampu membayar penegak hukum, dan masih ada sisa hasil korupsi yang bisa dikmati dihari tua”. Dalam sikon yang demikian jangan heran kalau orang yang tidak mampu (miskin) tidak akan memperoleh kebenaran karena keadilan sudah diperkosa, semakin parah saja prahara penegakan hukum sekarang ini.
Melihat situasi ini, penegak hukum semestinya lebih mengedepankan sifat moralitas serta mentalitasnya, dalam melaksanakan penegakan hukum tanpa memandang kasta dan strata sosial dalam tatanan kehidupan masyarakat. Hal ini bertujuan agar morality of law dapat diimplimentasi dengan sempurna, walaupun dalam kaitannya antara moralitas hukum dengan moralitas masyarakat sosial, memiliki perbedaan. Namun, minimal ketika hal ini dapat terbangun, maka aspek kesadaran hukum bagi masyarakat akan mudah untuk diwujudkan. Dalam hal ini prilaku penegak Hukum sangat mempengaruhi terhadap berkerjanya prinsip ini.
Upaya penegakan hukum yang berkeadilan, aspek pemahaman hukum bagi aparat penegak hukum kiranya perlu ditinjau ulang oleh setiap instansi penegak hukum, agar dapat menumbuhkan integritas, kredibilitas, dan kapabilitas aparat penegak hukumnya. Setiap aparat penegak dapat menggerakkan dan mengaktualisasikan hukum, karena perlu dipahami jika hukum itu tidak dapat bergerak dengan sendirinya. Sehingga ungkapan “hukum itu selalu terlambat” adalah keliru.
Upaya penumbuhan pemahaman hukum bagi para penegak dapat dilakukan melalui program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan intelektualitas tiap aparat hukum tersebut. Agenda pengembangan kualitas profesional di kalangan profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembinaan pegawai administrasi dilingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut. [*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Atasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg, Pemkab Pangandaran Harus Segera Miliki SPBE

PANGANDARAN, KMI - Dengan adanya keterkaitan, mahalnya Gas Elpiji di kabupaten Pangandaran dan maraknya harga penjualan gas elpiji 3 k...