Minggu, 03 November 2013

Kontroversi Perpu Menyelamatkan Mahkamah Konstitusi




Jakarta, KMI - Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan lima langkah penyelamatan MK. Salah satunya, menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke DPR, diharapkan murni untuk menyelamatkan lembaga peradilan tertinggi tersebut. Namun, rencana penerbitan Perpu untuk mengawasi Mahkamah Konstitusi ini ditentang sejumlah kalangan. Hakim Mahkamah Konstitusi juga menentang keputusan itu. Apalagi, mereka tak dilibatkan dalam pertemuan penyelamatan MK.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi tengah dipersiapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perpu tersebut akan mengatur persyaratan, aturan dan seleksi hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Perpu itu akan memberikan wewenang pada Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi proses peradilan di MK. Perpu tersebut merupakan salah satu butir agenda dan langkah Penyelamatan Mahkamah Konstitusi yang disepakati oleh Presiden SBY bersama para pimpinan lembaga negara, terkecuali MK, pada pertemuan di kantor Presiden, Jakarta, Sabtu 5 Oktober 2013. Para pimpinan lembaga Negara itu adalah Ketua DPD RI Irman Gusman, Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua MPR RI Sidarto Danusobroto, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo, Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali dan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki.
Kontroversi Para Tokoh Tentang Perpu Penyelamatan Mahkamah Konstitusi
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie Langkah presiden menerbitkan Perpu,  melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Sebab UUD 1945 mengatur bahwa kewenangan KY hanya mengawasi Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya.  Hubungan MA, MK, dan KY tercantum pada Bab IX tentang Kekuasaan Hakim. “MA diatur Pasal 24 A, KY Pasal 24 B, dan MK di Pasal 24 C,” jelas Jimly.  Jimly yang ikut menggodok Bab IX itu menegaskan, MK semula ada di pasal 24 B dan KY di Pasal 24 C.
“Kemudian posisi MK dan KY di UUD 1945 diputar, MK jadi 24 C. Ini ada alasannya,” kata Jimly yang menjadi ahli mewakili DPR dan Pemerintah kala penggodokan amandemen UUD 1945.  KY dinaikkan ke atas karena saat itu pemikiran pembuat UUD 1945 adalah ingin memastikan bahwa KY tidak dikaitkan atau disangkutpautkan dengan MK. Artinya, KY tidak bisa mengawasi MK. “Untuk memastikan hal itu lah kemudian pembuat UUD memutar posisi KY dari Pasal 24 C ke Pasal 24 B. Artinya, kewenangan KY hanya untuk MA dan peradilan di bawahnya,” jelas Jimly. 
Jika kemudian Presiden memaksa menerbitkan Perpu untuk memberi kewenangan KY mengawasi hakim konstitusi, dia telah melanggar UUD 1945. Jimly Asshiddiqie juga berharap rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang bertujuan menyelamatkan Mahkamah Konstitusi diurungkan karena tidak menjawab masalah. “Pengawasan terhadap MK yang akan dilakukan Komisi Yudisial bukanlah merupakan sebuah solusi, tidak ada perlunya. Perpu merupakan kewenangan subjektif presiden dan kita harus hormati. Tetapi, bila bisa dipertimbangkan, lebih baik diurungkan,” kata Jimly Menurut dia, bila Komisi Yudisial (KY) mampu melakukan pengawasan dengan baik, maka permasalahan di MA tidak akan ada lagi yang muncul.
“KY ini kan urusan etika. KY bukan solusi. Kalau KY solusi, maka tentulah MA sudah beres. Tentulah 15.000 hakim sudah baik karena ada KY. Tapi kan tidak?” ujarnya dan mengatakan bahwa yang diributkan saat ini soal bagaimana mengawasi putusan agar tidak salah.
Menurut dia, MK bukan merupakan lembaga superbody yang lepas dari pengawasan.  Ia mengatakan di Indonesia tak ada lembaga yang tidak diawasi sesuai prinsip check and balance. KPK yang bisa langsung menangkap lebih efektif untuk mengawasi dibandingkan KY, ujarnya. Oleh karena itu, ia mengimbau seyogyanya pemerintah lebih memperkuat peran KPK dibandingkan memberikan kewenangan kepada KY untuk melakukan pengawasan terhadap MK. Menurutynya yang perlu diatur adalah mengenai mekanisme dalam rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi dengan melihat objektivitasnya.
Guru besar ilmu hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, Yusril Ihza Mahendra, menilai rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk mengatasi krisis di Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan langkah tepat. Yusril menegaskan, sudah cukup alasan bagi Presiden untuk menerbitkan Perpu.
Yusril mengatakan, syarat penerbitan Perpu memang adanya “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.  “Tapi itu adalah pandangan subyektif presiden yang menerbitkan Perpu itu,” kata Yusril.
Yusril mengatakan, penangkapan Ketua MK, Akil Mochtar karena dugaan suap merupakan kejadian luar biasa yang mendorong Presiden merasa perlu mengambil langkah cepat untuk memulihkan kepercayaan terhadap lembaga tinggi negara yang pernah dipimpin Moh Mahfud MD itu. “Karena itu ada kegentingan yang memaksa sehingga Presiden menerbitkan Perpu,” imbuh Yusril. Hal yang juga ditekankan oleh Yusril adalah perlunya MK diawasi oleh lembaga negara yang sifatnya permanen sehingga tidak mengarah menjadi superior.  Menurutnya, MK memang berwenang menguji UU apa saja. “Termasuk menguji UU yang mengatur dirinya karena kewenangan itu diberikan UUD 1945. Namun, MK harus menahan diri dan menjunjung tinggi etika agar tidak menguji UU yang berkaitan dengan MK sendiri. Tindakan seperti itu tidak etis. Ada kesan kuat MK ingin menjadi superior,” katanya.
Kesan bahwa MK hendak muncul sebagai lembaga tinggi negara yang superior sudah muncul sejak dipimpin Jimly Asshidiqie. “Sehingga setiap UU yang membatasi MK mau mereka batalkan, termasuk kewenangan KY (Komisi Yudisial, red) untuk mengawasi hakim MK,” kata Yusril.
Yusril justru menganggap pembentukan Majelis Kehormatan MK sebagai hal yang tidak benar. Pasalnya, dalam Majelis Kehormatan itu juga ada hakim konstitusi. “Dengan demikian ada hakim MK yang akan memeriksa sesama hakim MK yang diduga melanggar kode etik. Ini tidak benar,” tegasnya. Karenanya Yusril menegaskan, KY seharusnya mengawasi hakim MK. “KY harus diberi wewenang merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden dan Mahkamah Agung (MA) untuk menarik hakim MK yang melanggar kode etik. Hakim yang melanggar etik harus diberhentikan. Bahkan, kalau ada unsur pidana, hakim MK tersebut harus diadili. Hal-hal seperti ini harus dimasukkan ke dalam Perpu.”
Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Kemanan Djoko Suyanto Djoko Suyanto menegaskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) mengenai penyelamatan Mahkamah Konstitusi yang ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah konstitusional. “Perpu merupakan hak dan kewenangan Presiden yang diatur secara konstitusional dalam UUD 1945 Pasal 22,” katanya kepada wartawan di Nusa Dua, Bali, Ahad sore. Djoko mengatakan hal tersebut dalam konferensi pers untuk menanggapi pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie yang menilai Perpu tersebut inkonstitusional. Jimly juga menyebut pertemuan itu seperti arisan keluarga. Presiden Yudhoyono menetapkan Perpu penyelamatan MK seusai bertemu dengan para ketua lembaga negara kecuali MK, terkait penangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Ketua MK Akil Mochtar. Menurut Djoko, sesuai dengan pasal 22 UUD 1945, ayat 1, Presiden memiliki hak dan kewenangan dalam kegentingan memaksa untuk membuat Perpu. Dalam ayat 2 diatur, Perpu tersebut harus disetujui oleh DPR dalam persidangan sebelum diundangkan. Pada ayat 3, bila tidak disetujui, pemerintah harus mencabut Perpu tersebut. “Apabila melihat pasal 22 pernyataan Pak Jimly tidak benar karena justru Perpu hak dan kewenangan Presiden,” katanya.
Ia juga membantah bahwa penetapan Perpu tersebut dalam kondisi emosional dan tergesa-gesa. Menurut dia, Perpu ditetapkan melalui penelaahan bersama para ketua lembaga negara yang hadir dalam pertemuan dengan Presiden pada Sabtu (5/10). Para ketua lembaga negara tersebut adalah Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua MA, Ketua KY, dan Ketua BPK.
“Jadi tidak benar seolah-olah ide penetapan Perpu dilahirkan atas emosi dan ketergesaan, ini adalah suatu proses dan bukan ditetapkan oleh Presiden sendiri, melalui proses kelembagaan, menerima konsultasi, tukar pikiran, mendengrakan pandangan-pandangan maupun visi dari para ketua lembaga negara,” katanya.
Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto Kuntoro Mangkusubroto menyebutkan rencana penerbitan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) oleh Presiden SBY bertujuan mengawasi kinerja Mahkamah Konstitusi.
“Di Perpu kita lihat dalamnya apa, ada tiga hal: mengenai masalah bagaimana syarat jadi hakim konstitusi, kedua seleksinya, ketiga bagaimana pengawasannya. Usulan pengawasan MK Komisi Yudisial pernah ditolak, lembaga yang tidak dapat dikontrol akan menyusahkan kita semua,” ujar Kuntoro.
Menurutnya kekuasaan yang tidak berbatas pasti mengundang korupsi dan rawan terjadi penyimpangan.  “Lembaga apa pun itu harus ada lembaga pengawasannya, apalagi bila lembaga yang mengatur etika,” kata Kuntoro. *(dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Atasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg, Pemkab Pangandaran Harus Segera Miliki SPBE

PANGANDARAN, KMI - Dengan adanya keterkaitan, mahalnya Gas Elpiji di kabupaten Pangandaran dan maraknya harga penjualan gas elpiji 3 k...