Minggu, 03 November 2013

Serigala Berbulu Domba



Oleh : Hans Nainggolan

Perilaku Tindak Pidana Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang marak disiarkan berbagai mass media, baik dikalangan eksekutif, yudikatif, maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999, tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat.
Kasus korupsi terkesan belit membelit satu dengan yang lainnya nyaris merata dengan kelakuan yang sama namun praktek berbeda. Ironisnya praktek yang menyakiti hati dan mengisap darah rakyat ini diduga melibatkan oknum-Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), oknum menteri,oknum  Gubernur, oknum Bupati, Oknum Camat, oknum Lurah, Oknum Kepala Dinas, oknum Rekanan, bahkan pentolan penegak hukum di MA dan lain sebagainya.
Para Pejabat atau yang dianggap Bapak Masyarakat ini yang diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat luas mengenai tertibnya hukum dan tertib sosial, ternyata justru harus duduk di kursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi, sehingga cita-cita reformasi dengan mewujudkan aparatur pemerintah yang good goverment and clean geverment sangat sulit dan nyaris hanyalah sebatas semboyan yang didengung-dengungkan.
Hebatnya, oknum-oknum yang sudah terjerat dan memiliki bukti melakukan tindak pidana korupsi, masih saja berkelit dan berbagai dalih dan upaya pembelaan diri dengan menyatakan diri tidak bersalah. Demikian juga teman-temannya pejabat lainnya yang memiliki hubungan atau kemungkinan satu kroni, dengan begitu hebatnya membela bahwa yang sudah disangkakan melakukan tindak korupsi tidak boleh diadili secara sosial masyarakat. Dengan mengatakan agar memberikan segala permasalahan teman atau kroninya ini diserahkan kepada penanganan hukum, dan menghormati proses hukum, begitu hebatnya membela di depan umum, sehingga tersangka pelaku maling uang rakyat ini memperoleh dukungan moral.
Dengan dalih membantu penegakan proses hukum agar diterapkan dengan benar, juga masih ada pengacara yang tampil membela para tersangka koruptor ini, seolah-olah bahwa uang rakyat yang dikorupsikan dengan nilai yang sangat besar tidak merupakan beban moral bagi pengacara ini. Dengan tampil elegant, menegakkan wibawa bak orang hebat seperti orang paling benar dan hebat membela kliennya.
Parahnya ada hakim Tipikor yang mengetuk palu di persidangan dengan memutuskan bahwa yang diduga koruptor bebas dan tidak bersalah. Dengan dalih tidak terbukti sehingga tanpa beban membebaskan yang diduga mencuri uang rakyat. Ironisnya keputusan itu berdasarkan KeTuahanan Yang Maha Esa Lagi.
Peristiwa-peristiwa ini sangat membingungkan rakyat awam, juga menimbulkan ketidak percayaan rakyat kepada lembaga penegak hukum lainnya. Betapa tidak !?. pihak penyidik ataupun yang lebih trend saat ini dengan adanya Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sudah memiliki bukti dan menuntut pelaku korupsi dengan hukuman yang berat, berdasarkan Uandang-Undang, namun sang pengadil yang memiliki sebutan ‘Hakim’ memvonnis dengan hukuman yang lebih rendah atau membebaskan.
Timbul pertanyaan, mengapa Undang-Undang di lembaga-lembaga hukum ini berbeda ?, rata-rata mereka menuntut dan memiliki ilmu hukum yang sama, tapi kenapa penerapannya berbeda ? siapa sebenarnya yang professional diantara mereka ? dan siapa yang bodoh diantara mereka ?
Apakah dalam penerapan hukum ini para penegak hukum ini mengingat rakyat ? Benarkah dalam penerapan hukum itu juga terjadi konspirasi yang mengabaikan kepentingan rakyat ? agaknya semuanya samar.
Bukan sekedar desas-desus, tapi juga sudah menjurus kearah warna dan bentuk bahwa negeri ini merupakan salah satu negeri terkorup nomor sekian. Namun semua penduduk dan pejabat negeri ini menabuh genderang perang terhadap tindak pidana korupsi.
Tidak ada seorangpun aparatur negeri ini yang tidak menyerukan “PERANGI KORUPSI” . Seruan ini menunjukkan bahwa yang menyerukan adalah seorang yang pro rakyat dan ‘clean’. Namun sebaliknya bahaya laten korupsi tetap terjadi, untuk siapa seruan itu didengungkan ? Bukankah mendengungkan sesuatu merupakan tekad untuk dilaksanakan ? tetapi kenapa tindak pidana korupsi sulit padam ?
Jangan-jangan dengungan untuk memerangi korupsi ini hanyalah suatu cara untuk menina bobokan masyarakat, sehingga tetap berdiam diri biarpun menyaksikan kezoliman tindak pidana korupsi tetap berjalan. Situasi ini untuk kepentingan rakyat atau memanfaatkan rakyat ? ***
 *** Penulis adalah Wartawan tinggal di Bandung – Jawa Barat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Atasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg, Pemkab Pangandaran Harus Segera Miliki SPBE

PANGANDARAN, KMI - Dengan adanya keterkaitan, mahalnya Gas Elpiji di kabupaten Pangandaran dan maraknya harga penjualan gas elpiji 3 k...